WAHANANEWS.CO, Jakarta - Sengketa wilayah di Indonesia kini memasuki babak baru yang semakin memanas.
Setelah polemik kepemilikan empat pulau antara Aceh dan Sumatra Utara menyita perhatian nasional, kini konflik serupa merebak di Jawa Timur dan wilayah barat Indonesia lainnya.
Baca Juga:
Sampah di Toboali Melonjak 15% Selama Ramadan, DLH Siapkan Antisipasi
Persoalan batas administratif pulau-pulau kecil tampaknya menjadi bom waktu yang akhirnya meledak.
Perselisihan bermula dari keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menetapkan empat pulau, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang, sebagai bagian dari wilayah Sumatera Utara.
Penetapan ini didasarkan pada pertimbangan letak geografis yang lebih dekat ke Sumut, serta hasil rapat batas darat yang disepakati oleh empat pemda.
Baca Juga:
Satpol PP Turun ke Asrama ISBA Jogja, Andre Politik: Ini Bisa Perkeruh Situasi
“Nah, dari rapat tingkat pusat itu, melihat letak geografisnya, itu ada di wilayah Sumatera Utara, berdasarkan batas darat yang sudah disepakati oleh empat pemda, Aceh maupun Sumatera Utara,” ujar Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Rabu (10/6/2025).
Keputusan ini segera ditolak keras oleh Pemerintah Aceh dan masyarakatnya. Mereka menilai penetapan tersebut mencederai kedaulatan dan identitas wilayah Aceh.
Penolakan ini merujuk pada Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
Bahkan Wakil Presiden RI ke-10, Jusuf Kalla, turut bersuara. Ia menyebut empat pulau itu sebagai simbol harga diri masyarakat Aceh.
Perselisihan ini akhirnya diselesaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto yang memutuskan keempat pulau tersebut resmi masuk wilayah administratif Aceh.
“Berdasarkan laporan dari Kemendagri, berdasarkan dokumen-dokumen, data-data pendukung, kemudian tadi Bapak Presiden memutuskan bahwa pemerintah berlandaskan pada dasar-dasar dokumen yang telah dimiliki pemerintah telah mengambil keputusan bahwa keempat pulau, yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, secara administratif berdasarkan dokumen yang dimiliki pemerintah adalah masuk ke wilayah administratif wilayah Aceh,” kata Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi di Istana Kepresidenan, Selasa (17/6/2025).
Tak lama berselang, konflik serupa mencuat di Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Trenggalek memprotes keputusan Mendagri yang menyatakan bahwa 13 pulau yang selama ini diklaim Trenggalek justru masuk ke wilayah Kabupaten Tulungagung.
RTRW Kabupaten Trenggalek maupun RTRW Provinsi Jawa Timur telah sejak lama mencantumkan bahwa 13 pulau tersebut berada dalam wilayah administratif Trenggalek.
Namun, keputusan Kemendagri berkata lain. Sekda Trenggalek, Edy Soepriyanto, menegaskan, “Sudah ditetapkan oleh Kepmendagri, artinya masih masuk wilayah Tulungagung. Kami akan bersurat lagi, meminta agar dilakukan kajian ulang.”
Tak kalah panas, sengketa juga terjadi antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Kepulauan Riau atas Pulau Tujuh.
Gubernur Bangka Belitung, Hidayat Arsani, bahkan membentuk Tim Khusus Pulau Tujuh untuk memperjuangkan agar pulau-pulau itu kembali ke Babel.
Tim ini menilai Keputusan Mendagri Nomor 050/145/2022 dan 100.1.1.6117/2022 melanggar prinsip keadilan administratif. Mereka berencana menggugat keputusan tersebut ke Mahkamah Konstitusi jika tak kunjung direspons oleh Kemendagri.
“Kami juga akan melakukan langkah hukum lainnya dengan mengajukan gugatan judicial review atas adanya konflik dua undang-undang yang saling bertentangan,” kata Staf Khusus Gubernur Babel, Kemas Akhmad Tajuddin, Sabtu (21/6/2025).
Kemas mengaku telah beberapa kali berdialog dengan Pemda Kepri serta mengikuti mediasi yang difasilitasi Kemendagri. Namun, titik temu belum ditemukan. “Kami telah menyampaikan surat keberatan ke Kemendagri, namun tidak pernah ditanggapi,” katanya.
Merespons semua polemik ini, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, menyatakan bahwa pemerintah pusat akan sangat berhati-hati dalam menangani konflik batas pulau.
“Yang pasti belajar dari sengketa 4 pulau di Aceh, tentu kami hati-hati,” ujarnya.
Bima memastikan Kemendagri akan mendalami tidak hanya aspek geografis, tetapi juga aspek historis dan kesepakatan lama antarwilayah.
“Tidak saja soal data geografis, tapi historis dan kesepakatan-kesepakatan masa lalu penting sedang ditelusuri. Kami berhati-hati sekali,” pungkasnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]