WahanaNews.co | Nyali dan dedikasi John Lie tercatat dalam sejarah republik.
Pemerintah Indonesia mengabadikan nama
pahlawan nasional dari etnis Tionghoa ini menjadi nama bagi kapal perang TNI AL
jenis multi role light frigate (MRLF).
Baca Juga:
Fakta-fakta Kasus Penembakan yang Menewaskan Bos Rental di Tol Jakarta-Merak
Laksamana Muda John Lie dikenang
sebagai seorang prajurit tempur laut andal yang berani menembus blokade
pertahanan Belanda dalam operasi lintas laut (1945-1949).
Pria bernama lengkap John Lie Tjeng
Tjoan ini lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 9
Maret 1911, dan meninggal pada 1988.
John Lie, yang
mengenyam pendidikan di Hollands Chinese
School (HCS) dan Christelijke Lagere
School, menapaki Jakarta pada usia 17 tahun.
Baca Juga:
Mengenal Jenjang Pangkat TNI: Dari Prajurit hingga Perwira Tinggi
Meski mengenyam "bangku sekolah", jalan hidup John Lie di ibu kota tak
sepenuhnya mulus.
Ia bahkan sempat menjadi buruh di
Pelabuhan Tanjung Priok, sebelum akhirnya bekerja di perusahaan pelayaran
Belanda, Koninklijk Paketvaart Mattschappij (KPM), pada 1929.
Kerja pertamanya di perusahaan
tersebut adalah sebagai Mualim III, yaitu orang yang mengatur, memeriksa, dan
memelihara semua alat keselamatan kapal, dan juga
sebagai pengatur arah navigasi.
Bekerja di kapal membawa John Lie
melanglang buana.
Seperti ditulis Nursam dalam buku yang
berjudul Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi:
Biografi Laksamana Muda John Lie (2008), pada Februari 1942, John Lie berada di Pelabuhan Cilacap, di atas kapal MV Tosari
milik KPM, menuju Pangkalan Inggris Khoramshar di Iran.
Saat itu, kapal MV Tosari digunakan
sebagai pengangkut logistik untuk Angkatan Laut Inggris.
John Lie, bersama
para awak MV Tosari lainnya, diberi pelatihan militer untuk
menghadapi Perang Dunia II.
Mereka di antaranya diajari taktik
perang laut, menggunakan berbagai macam senjata api dan manajemen pengapalan logistik.
Usai perang Dunia II, tepatnya setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, John Lie memutuskan untuk kembali ke
Indonesia.
Februari 1946, John Lie
ikut kapal MV Ophir. Ia singgah di Singapura selama 10 hari, sebelum melanjutkan perjalanannya lagi.
Mei 1946, ia
kembali melanjutkan perjalanan dan berlabuh di Yogyakarta. Sesampainya di
Yogyakarta, ia bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) --saat ini
TNI AL-- sebagai Kelasi III.
Misi Menembus Blokade
Pada 29 Agustus 1946, ia ditugaskan di Pelabuhan Cilacap. Ia menaiki kapal ML 336
dengan tujuan Labuan Bilik, Sumatera Timur.
Kapal ini membawa senjata dan amunisi.
Tugas pertamanya dengan ALRI adalah misi menembus blokade Belanda.
Selain dikenal sebagai penembus
blokade Belanda, John Lie juga dikenal mahir menyelundupkan senjata dengan
kapal The Outlaw.
Operasi pertamanya dengan The Outlaw dimulai pada Oktober 1947.
Kapal ini berlayar dengan rute
Singapura, Labuan Bilik, dan Port Swettenham. Kapal ini
mengangkut berbagai perlengkapan militer.
Saat berlayar di Sumatera, kapal yang
dinaikinya sempat diburu Angkatan Laut Belanda. Selain itu, kapalnya juga sempat
dihampiri pesawat terbang Belanda.
Namun, The Outlaw berhasil mengecoh, sehingga pesawat Belanda yang sempat
mengarahkan senapan mesin pun melanjutkan kembali terbang patrolinya.
John Lie dan pasukan berhasil
mendaratkan muatan senjata di Labuhan Bilik, Sumatera Utara.
Tak lama setelah itu, ia kembali
melanjutkan perlayarannya ke Port Swattenham, Malaysia. Di kapal
itu, ia membawa karet untuk dijual.
Malaysia saat itu berada dalam
kekuasaan Inggris. Sehingga, tak mudah untuk menembus blokade pasukan bangsa
Barat itu.
Namun, John Lie dan awak kapal lain
berhasil lagi menembus blokade.
Kepangkatan John Lie merangkak, seiring keberhasilannya menyelesaikan misi-misi perang. Pangkat
tertingginya sebelum pensiun adalah Laksamana Muda.
Ia purna tugas dari TNI AL pada 1967
dengan dua bintang di pundaknya.
Pada tahun yang sama, John Lie mengganti nama menjadi Jahja Daniel Dharma. Pada tahun
tersebut, etnis Tionghoa memang diharuskan mengganti nama dengan menghilangkan
unsur China lewat Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 tahun 1967.
Pada Agustus 1988, Laksamana Muda John Lie menutup mata. Lebih dari
dua dekade setelah wafat, jasa-jasanya baru diakui pemerintah.
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
(SBY), pada 9 November 2009, menganugerahi gelar Pahlawan Nasional
kepada John Lie. [dhn]