Lebih jauh, Joko menambahkan bahwa PFB tidak hanya berfungsi untuk memperkuat pendanaan di seluruh fase bencana, mulai dari pra-bencana, tanggap darurat, hingga pasca-bencana, tetapi juga mengedepankan aspek perlindungan melalui mekanisme transfer risiko.
Salah satunya diwujudkan lewat asuransi, seperti skema Asuransi Barang Milik Negara (ABMN) yang sudah berjalan saat ini.
Baca Juga:
PLN Hadirkan HCS Ultima, Layanan Home Charging EV dengan Pemasangan Lebih Cepat dan Praktis
Asuransi tersebut penting untuk memperluas perlindungan finansial apabila terjadi bencana yang mengakibatkan kerusakan aset negara maupun daerah, serta kerugian ekonomi.
Dengan cara ini, PFB diharapkan mampu menjadi instrumen strategis yang memperkuat ketahanan sistem pembiayaan bencana di Indonesia.
Pada tahun 2025, dana PFB akan difokuskan pada pembiayaan kegiatan pra-bencana, seperti memperkuat kesiapsiagaan di bidang kesehatan, mendorong perlindungan sosial adaptif, hingga membantu daerah menyiapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam menghadapi risiko bencana.
Baca Juga:
Inovasi Berkelanjutan dari Kampus UNJA: Dari Limbah Sawit Jadi Bioplastik hingga Panel Surya Portabel
"PFB tidak menggantikan mekanisme pendanaan yang telah berjalan saat ini, melainkan untuk melengkapi dan menambah opsi pendanaan yang sudah ada sekarang selain dana siap pakai, hibah rehabilitasi dan rekonstruksi maupun bantuan tidak terduga," kata Joko.
Dengan adanya PFB, pemerintah pusat maupun daerah kini memiliki alternatif tambahan dalam bauran instrumen pembiayaan bencana.
Skema ini diyakini akan membuat sistem lebih fleksibel dan tidak hanya bertumpu pada satu sumber pendanaan saja.