Mandagi, yang merupakan salah satu tokoh perdamaian konflik Maluku itu, melihat adanya ketidakadilan dalam distribusi dana otsus Papua dan digunakan tidak secara bijak sehingga menghambat pembangunan daerah-daerah di Papua.
Rentang kendali pemerintahan untuk Papua dengan wilayah yang begitu luas, menurutnya, merupakan alasan lain, karena sangat tidak efektif untuk pembangunan daerah dan pemberdayaan masyarakat.
Baca Juga:
AM Putut Prabantoro: Pemda di Asia Pasifik Perlu Promosikan Perdamaian Demi Peradaban Dunia
Uskup Mandagi juga melihat, sebagian para pemimpin daerah di Papua kurang memberikan contoh yang baik dan bijak bagi masyarakatnya.
Yang paling parah, adalah stigma buruk atas Papua dari dunia luar berdampak pada Wilayah Papua Selatan yang damai dan aman.
Menanggapi terbentuknya Provinsi Papua Selatan, ia mengaku, tidak menduga akan terjadi secepat ini.
Baca Juga:
Jelang Hari Listrik Nasional Ke-79, PLN UP3 Jambi Turut Nyalakan Serentak Light Up The Dream Masyarakat Tidak Mampu Di Provinsi Jambi
“Terus terang saya tidak menyangka bahwa setahun setelah pernyataan saya, Papua Selatan terbentuk.Bahkan terbentuknya bersamaan dengan Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan pada 30 Juni 2022. Ini merupakan karya Allah melalui tangan-tangan yang menginginkan Papua damai, sejahtera serta ketidakadilan dihilangkan,” imbuhnya.
Bagi Mandagi, terbentuknya wilayah Papua Selatan menjadi provinsi baru hasil pemekaran di Papua merupakan pemecahan strategis dan sekaligus penyelesaian atas masalah Wilayah Papua, termasuk konfliknya.
Sebagai Uskup Agung, dirinya juga ingin menyampaikan pesan kepada dunia bahwa Papua tidak seperti suara-suara para propagandais dan pendukung pemisahan diri Papua dari NKRI.