WahanaNews.co, Jakarta - Membangun kesadaran sejarah amat penting karena nanti pada ujungnya adalah kembali pada UUD 1945 yang dalam ekonomi politik masuk wilayah Ekonomi Konstitusi.
Hal ini disampaikan oleh Didik J. Rachbini, Rektor Universitas Paramadina dalam diskusi yang diadakan atas kerjasama Universitas Paramadina dan INDEF dengan tema "Kebangkitan Nasional, Kebangkitan Ekonomi" yang diselenggarakan secara daring melalui zoom meeting pada Senin (27/5/2024).
Baca Juga:
Pemprov Sulteng Dukung Penguatan Ketahanan Pangan Nasional, Jadi Lumbung Pangan Utama
Didik mengaitkan hal tersebut dengan sejarah Indonesia pada bulan Mei 1908 dimana kelompok-kelompok pemuda mengklaim membentuk satu kesatuan bangsa pada lebih satu abad lalu.
"Oleh karena itu amat disayangkan jika saja ada pihak-pihak tertentu yang ingin memecah belah bangsa dan demokrasi, yang berarti ingin menghancurkan sejarah panjang perjalanan bangsa." Ujarnya.
Eisha Maghfiruha R. Ph.D, Kepala Center of Digital Economy and SMEs INDEF mengungkapkan bahwa ekonomi global saat ini sedang tidak baik-baik saja. Perlambatan ekonomi dan stagnasi global masih berlanjut pada 2024.
Baca Juga:
Kinerja Pendapatan Negara Tahun 2024 Masih Terkendali, Menkeu: Ada Kenaikan Dibanding Tahun 2023
"Stagnasi global tersebut mencatat PDB global hanya akan tumbuh di 3,2% (YoY) global tahunan 2023, 2024, 2025. Meski negara-negara ekonomi maju mengalami sedikit penguatan ekonomi (1,7%), tetapi di negara-negara berkembang terjadi sedikit perlambatan hanya tumbuh 4,2% di 2024" tuturnya.
Prospek suku bunga yang tidak pasti dan menahan suku bunga global pada level tinggi, sehingga mendorong capital outflow dan juga dirasakan oleh Indonesia, yaitu tekanan nilai tukar rupiah yang sampai Rp16.000.
"Perubahan dalam dinamika ekonomi global, dipengaruhi eskalasi perang di Timur Tengah dan konflik Rusia-Ukraina. Eskalasi global tersebut tentunya mempunyai risiko ekonomi kepada dalam negeri Indonesia di mana situasi politik global yang tidak stabil mengurangi probabilitas masuknya investasi asing" kata Eisha.
Eisha melihat perekonomian domestik rupanya tumbuh 5,1% (YoY) pada Q-1 2024, Sebuah capaian tertinggi untuk triwulan pertama dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
"Namun, pertumbuhan tersebut terutama didorong oleh Ramadhan dan konsumsi pemerintah, terutama belanja pemerintah untuk bantuan sosial dan pemilu. Dengan demikian disayangkan, ekonomi domestik belum bisa terdorong oleh kegiatan sisi produksi yang maksimal." Ungkapnya.
"Maka dari itu, program baru pemerintah oleh elected president menjadi fokus yang penting adalah program makan siang gratis/makan bergizi yang memberikan dampak pada anggaran fiskal adalah peningkatan belanja yang meningkatkan pengeluaran pemerintah secara signifikan, perkiraan awal menunjukkan kebutuhan anggaran mencapai Rp460 triliun, setara 7,23% dari total belanja negara dalam APBN 2024 (Rp3.325,1 triliun)." Jelas Eisha.
"Beban utang pada 2023 mencapai 1,65% terhadap PDB, dengan total utang Rp347,6 triliun. Disisi lain, utang nasional Indonesia sudah mencapai Rp 7.700 triliun per Maret 2024. Penambahan utang untuk program ini dikhawatirkan akan memperburuk situasi fiskal dan membebani stabilitas ekonomi" tegasnya.
"Program makan siang gratis juga berdampak besar terhadap neraca perdagangan. Program ini dapat meningkatkan defisit perdagangan Indonesia karena biaya yang diperlukan akan meningkatkan impor dan mengurangi ekspor." Sambungnya.
Dr. Handi Risza, Ekonom Universitas Paramadina memandang dunia sedang dihantui dengan tiga permasalahan utama (triple horror) yaitu inflasi tinggi, tingkat suku bunga tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Diperkirakan kondisi tersebut akan berlangsung lama yang berdampak kepada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
"Di dalam negeri sendiri, terjadi stagnasi pertumbuhan ekonomi di mana rata-rata pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,9 persen. Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut, sulit bagi Indonesia untuk dapat naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi atau mengejar ketertinggalan pendapatan per kapita dari negara maju" tegasnya.
Handi memaparkan mengenai angka ratio Gini pada bulan Maret 2023 sebesar 0,388, mengalami peningkatan 0,007 poin jika dibandingkan dengan angka di bulan September 2022 sebesar 0,381. Angka ini menunjukkan tingkat ketimpangan semakin melebar.
Handi juga menyoroti tentang kebijakan utang yang diterapkan oleh Pemerintah dalam dua dekade terakhir terus mengalami peningkatan, bahkan mencapai puncak tertingginya.
"Semenjak tahun 2014 Debt to Service Ratio Indonesia selalu berada di atas ambang batas psikologisnya di atas 30%. Besarnya nilai utang dan bunga utang akan memberikan dampak yang signifikan terhadap beban keuangan negara khususnya dalam APBN, perlu diketahui bahwa bunga utang yang harus dibayar setiap tahunnya mencapai Rp 480 triliun."
Handi melihat dengan tax ratio yang masih rendah, menunjukkan kapasitas Makro Fiskal untuk menopang kinerja ekonomi nasional masih tergolong rendah. Bahkan tidak cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional ke arah yang lebih tinggi.
Ia juga menyinggung besarnya Kebutuhan anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara diperkirakan mencapai Rp466 triliun hingga 2045. Dari jumlah tersebut, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan menanggung sekitar 20% atau Rp89,4 triliun.
"Sampai hari ini, Pemerintah tidak pernah membuka data calon Investor yang akan menanamkan modalnya pada proyek IKN tersebut. Sebaiknya kepindahan IKN ditunda dalam jangka waktu yang tidak ditentukan, sampai semuanya siap" papar Handi.
Wijayanto Samirin, Ekonom Universitas Paramadina menyoroti kondisi global saat ini, yang jelas tidak bersahabat bagi Indonesia.
"Praktis terdapat beban yang luar biasa berat bagi tumbuh kembangnya ke depan perekonomian nasional. untuk itu perlu kemauan kuat dan rencana tepat dari Pemerintahan baru. Namun, disadari 'kaki-kaki yang dimiliki demikian lemah' dengan gambaran fundamental ekonomi yang agak memprihatinkan" terangnya.
Perang Rusia-Ukraina, eskalasi di Timur Tengah, perang dagang AS-China yang berkepanjangan disertai pelemahan ekonomi AS dengan Tren dedolarisasi dan disrupsi suku bunga global.
"Terakhir tercatat harga komoditas yang berfluktuasi dan menunjukkan tren menurun yang akan berdampak pada harga komoditas nasional" pungkasnya.
Utang melejit, bunga terus meningkat (14% Belanja APBN), DSR melampaui batas aman membuat daya saing ekonomi semakin terpuruk, semakin tergantung pada komoditas SDA dan tingkat kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih tinggi.
"Gambaran bagi beban berat perekonomian Indonesia terlihat pada angka pengangguran yang tinggi, termasuk di kalangan Gen-Z dinilai gagal memanfaatkan bonus demografi dengan warisan program populis, boros anggaran dari pemerintah sebelumnya dan janji kampanye presiden terpilih."
"Perlu segera evaluasi atas kebijakan tumpang tindih dan tidak pasti, sehingga menyebabkan daya tarik investasi merosot. Selain itu institusi ekonomi dan non-ekonomi digerogoti korupsi dan kemerosotan etika. Biaya logistik juga mahal, 23-25% GDP, muncul pula gejala deindustrialisasi dini, industri manufaktur hanya mewakili 18% GDP" tutur Wijayanto.
"Oleh karena itu, perlu diusulkan rasionalisasi atau modifikasi program warisan seperti IKN, KCIC, bansos, dan lain-lain, lalu perlu juga rasionalisasi atau modifikasi realisasi janji politik Pilpres 2024. Kemudian, meminimalkan utang, perbanyak porsi utang program berjangka panjang dan berbunga rendah; saat ini 90% utang bersumber dari SUN yang mahal" tegasnya.
[Redaktur: Amanda Zubehor]