Oleh MUHAMAD CHATIB BASRI
Baca Juga:
Apindo Ungkap Penyebab Tutupnya Banyak Pabrik dan PHK di Jawa Barat
"THERE is too much news to justify complacency. There is too much good news to
justify despair (ada terlalu banyak berita buruk untuk membuat kita berpuas diri. Ada
terlalu banyak kabar baik untuk membuat kita putus asa)," tulis Donella
Meadows, ilmuwan lingkungan hidup dari Amerika Serikat.
Meadows adalah salah satu penulis utama dari laporan
mengenai lingkungan hidup yang amat berpengaruh: The Limits to Growth.
Baca Juga:
Sejarah UMKM Nasional, Roda Penggerak Perekonomian Indonesia
Ia menulis kalimat itu karena ketidaksabarannya
melihat perdebatan apakah kita harus pesimistis atau optimistis.
Saya jadi teringat esai Meadows ini ketika membaca
berita gembira dari Badan Pusat Statistik (BPS) minggu lalu: ekonomi Indonesia
tumbuh 7,07 persen di triwulan II-2021.
Dan Indonesia keluar dari resesi.
Ini adalah kabar yang memberikan optimisme.
Sebenarnya, tak ada yang terlalu mengejutkan dari
berita ini.
Saya pernah menulis di Harian Kompas (28/5/2021) bahwa ada dua faktor yang mungkin akan
membuat pertumbuhan ekonomi di triwulan II-2021 melesat.
Yang pertama, pertumbuhan triwulan II-2021 akan
relatif tinggi karena berangkat dari basis yang rendah.
Produk Domestik Bruto (PDB) kita berdasarkan harga konstan (HK) 2010
pada triwulan II-2020 tercatat sebesar Rp 2.589,6 triliun, sedangkan PDB
triwulan I-2021 sudah mencapai Rp 2.683,1 triliun.
Artinya, untuk memperoleh angka pertumbuhan 6-7 persen
pada triwulan II-2021, PDB (HK 2010) hanya perlu mencapai Rp 2.744,9 - 2.770,8 triliun.
Cukup dengan pertumbuhan 2,3 - 3,3 persen dari
triwulan I ke triwulan II-2021.
Yang kedua, pertumbuhan 2,3 - 3,3 persen antar-triwulan sangat
mungkin dicapai karena hampir semua indikator utama (leading
indicators) secara konsisten menunjukkan
perbaikan ekonomi.
Alasannya: meningkatnya mobilitas dan membaiknya
ekspor.
Seiring dengan meningkatnya mobilitas --akibat menurunnya
kasus infeksi periode Februari sampai sebelum Lebaran-- belanja mengalami
peningkatan.
Data Office of
Chief Economist Bank Mandiri menunjukkan: indeks belanja sudah kembali,
bahkan sudah lebih tinggi dibandingkan periode pra-Covid-19.
Inilah yang menjelaskan mengapa konsumsi rumah tangga
mengalami pertumbuhan yang tinggi (5,93 persen).
Sejalan dengan meningkatnya konsumsi rumah tangga,
dunia usaha merespons dengan meningkatkan investasi.
Dari sisi ekspor, kenaikan harga komoditas kelapa
sawit dan batubara, serta pemulihan ekonomi AS dan China, membuat kinerja
ekspor kita meningkat (tumbuh 31,78 persen).
Indonesia mampu memanfaatkan kesempatan ini.
Itulah alasan mengapa pertumbuhan ekonomi mencapai
7,07 persen pada triwulan II-2021.
Saya kira, kita perlu memberikan apresiasi: stimulus
yang dilakukan pemerintah sudah membawa ekonomi kembali dalam jalur pertumbuhan
positif.
Indonesia keluar dari resesi.
Kesinambungan Pemulihan
Namun, pertanyaan yang penting: apakah lompatan
pertumbuhan ini berkelanjutan?
Jujur, saya tak pandai untuk menjawabnya.
Ada satu variabel yang tak bisa diprediksi sepenuhnya:
pandemi.
Sampai kapan pandemi akan terjadi?
Apakah akan ada gelombang pandemi berikutnya?
Saya tak punya jawabannya.
Namun, ada beberapa hal yang mungkin bisa membantu
kita melihat ke depan.
Pertama, pemulihan ekonomi di sejumlah negara di dunia
tampaknya terkait erat dengan kemampuan mengatasi pandemi.
Negara-negara yang mampu mengatasi pandemi dengan
relatif baik, entah dengan cara menerapkan protokol kesehatan yang ketat, atau
dengan percepatan vaksinasi, atau kombinasi keduanya, umumnya memiliki peluang
pemulihan ekonomi yang lebih cepat.
Studi kuantitatif awal yang saya lakukan menunjukkan:
semakin tinggi vaksinasi per 100 penduduk, semakin tinggi pula prospek
pertumbuhan ekonomi.
Saya menggunakan proyeksi Dana Moneter Internasional
(IMF) Juli 2021.
Senada dengan itu, IMF dalam World Economic Outlook Juli 2021 dengan nada khawatir menulis:
pemulihan ekonomi global tak merata.
Vaksinasi menjadi faktor penting yang menentukan
bercabangnya pemulihan ekonomi ini.
Negara-negara yang mampu mengatasi pandemi secara
relatif baik mampu mengembalikan aktivitas ekonominya lebih cepat.
Ini yang menjelaskan mengapa proyeksi pertumbuhan
ekonomi di banyak negara maju --yang memiliki akses vaksin-- atau negara yang
menerapkan protokol kesehatan dengan baik memiliki pola pemulihan berbentuk
huruf V.
Sebaliknya, negara-negara yang terbatas aksesnya
terhadap vaksin, atau lemah dalam penerapan protokol kesehatan, membutuhkan
waktu yang panjang dalam pemulihan ekonominya.
Dalam kasus ini, pemulihan ekonomi berbentuk Swoosh shape (seperti logo Nike) atau huruf L atau W.
Pesan dari temuan ini sangat jelas: pemulihan ekonomi
hanya akan terjadi jika masalah kesehatan diatasi.
Kedua, jika kesehatan adalah kuncinya, apakah kinerja
ekonomi kita di triwulan II-2021 akan berlanjut?
Di sini kita harus berhati-hati.
Studi yang dilakukan Mandiri Institute menunjukkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat (atau Level 4) mengakibatkan
penurunan mobilitas.
Akan tetapi, ini memang harus dilakukan untuk
menyelamatkan nyawa dan ekonomi.
Mandiri Institute juga menunjukkan penerapan PPKM Darurat membawa dampak
pada penurunan belanja sebesar 17,2 persen sejak mulai diterapkan sampai 18
Juli 2021.
Penurunan ini memang lebih rendah dibandingkan dengan
penurunan belanja akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan 2 Maret - 9 April 2020 lalu
(36,2 persen).
Implikasinya, kita akan melihat perlambatan
pertumbuhan ekonomi di triwulan III-2021.
Saya menduga, kita akan melihat sebuah pola pemulihan
ekonomi yang berbentuk huruf W: pertumbuhan ekonomi mencapai kondisi terburuk
pada triwulan II-2020, lalu meningkat tajam di triwulan II-2021, dan menurun
kembali di triwulan III-2021.
Apakah pertumbuhan ekonomi akan meningkat lagi di
triwulan IV-2021?
Jawabannya akan sangat tergantung sejauh mana
mobilitas bisa kembali.
Pelonggaran mobilitas akan mendorong perekonomian.
Namun, pada saat yang sama, kita belajar --dengan harga yang amat
mahal-- bahwa pelonggaran mobilitas yang tidak dibarengi dengan penerapan protokol
kesehatan yang baik dan tanpa percepatan vaksinasi berisiko menimbulkan
gelombang pandemi baru.
Akhirnya, pemerintah harus menerapkan kembali
pembatasan mobilitas.
Apabila pola ini berlangsung, kita akan mengulangi
pola W, sampai tercapainya kekebalan komunitas (herd
immunity).
Ketiga, di sini dilemanya.
Pembatasan mobilitas yang amat ketat bias berpihak
kepada kelompok menengah atas.
Mengapa? Kelompok ini memiliki tabungan dan akses
digital.
Bagaimana dengan kelompok menengah bawah?
Kelompok ini harus bekerja karena tak memiliki
tabungan.
Karena itu, pembatasan mobilitas harus dibarengi oleh
pemberian kompensasi agar orang bisa tinggal di rumah.
Di sinilah pentingnya peran Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program
Keluarga Harapan (PKH), dan bantuan sosial lain.
Dalam tulisan saya bersama Ben Olken dan Rema Hanna (Kompas,
2020), kami pernah menyarankan agar perlindungan sosial
diperluas, tak hanya untuk kelompok miskin, tetapi untuk mereka yang rentan.
Selain perlindungan sosial, fokus pada kesehatan,
seperti percepatan vaksin dan 3T (test, tracing, dan treatment)
menjadi kunci.
Salah satu kendala tes PCR saat ini adalah akses dan
harganya masih terlalu mahal.
Saya kira harus ada intervensi pemerintah di sini.
Keempat, mungkin perlu dipikirkan untuk menambah
jumlah penerima manfaat dan nilai BLT dan PKH.
Alasannya: tabungan kelompok yang rentan mungkin telah
tergerus --atau habis-- karena telah digunakan untuk bertahan hidup selama
ini.
Jika penerima manfaat kita perluas menjadi 160 juta
penduduk (60 persen dari total penduduk), bantuan perlu diberikan kepada
sekitar 40 juta rumah tangga (asumsinya satu keluarga terdiri atas empat orang:
bapak dan ibu serta dua anak).
Jika nilai manfaat adalah Rp 1 - 1,5 juta per bulan
(lebih tinggi dari yang ada saat ini), dan diberikan selama tiga bulan,
dibutuhkan Rp 120-180 triliun atau 0,75 - 1,1 persen dari PDB.
Alokasi anggaran kesehatan juga perlu ditambah untuk
penyediaan vaksin dan 3T.
Data di sejumlah negara menunjukkan: secara umum
vaksin cukup efektif untuk meminimalkan dampak berat infeksi Covid-19.
Karena itu, percepatan vaksin menjadi kunci.
Keterlambatan vaksin --baik karena
keterbatasan pasokan, distribusi, maupun keengganan akan vaksin (vaccine
hesitancy)-- bisa membuat dampak pandemi menjadi sangat buruk.
Akibatnya, proses pemulihan ekonomi menjadi semakin
berat, apalagi bagi negara yang kemampuan stimulusnya terbatas.
Kemampuan Fiskal
Semua usulan di atas --penambahan bantuan
sosial, penambahan alokasi anggaran untuk kesehatan, dan dukungan untuk UMKM-- akan membuat defisit
anggaran meningkat.
Sanggupkah fiskal kita?
Untuk itu, realokasi anggaran perlu dilakukan.
Fokus saja untuk kesehatan; perlindungan sosial,
seperti BLT, PKH, dan bansos lain; serta dukungan untuk UMKM.
Anggaran lain dapat menunggu setelah pandemi reda.
Prioritas harus jelas.
Dari sisi pendapatan, penerimaan pajak harus
ditingkatkan.
Risalah saya bersama Ben Olken, Mayara Felix dari
Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan Rema Hanna dari Harvard di National Bureau of Economic Research
(NBER) (2019) menunjukkan: untuk setiap kenaikan satu rupiah peningkatan tarif
pajak, wajib pajak akan mendapatkan beban tambahan lagi sebesar 0,51 rupiah.
Karena itu, harus dipikirkan jalan lain yang tak
membebani wajib pajak, tetapi tetap menaikkan total penerimaan pajak
pemerintah.
Caranya adalah perbaikan administrasi perpajakan,
misalnya seperti apa yang mulai diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak
baru-baru ini dengan memindahkan pelayanan badan usaha dari kantor pajak
reguler ke kantor pajak madya (MTO).
Mengapa?
Kami menduga bahwa keterbatasan sumber daya di kantor
pajak reguler membuat mereka cenderung memfokuskan diri pada beberapa wajib
pajak dengan potensi pendapatan tinggi.
Akibatnya, badan usaha besar akan menjadi sasaran.
Ada kemungkinan mereka akan semakin menghindari membayar
pajak seiring dengan pertumbuhan skala perusahaannya.
Apabila dipindahkan ke MTO, dengan jumlah anggota staf
yang lebih banyak, beban pajak tidak hanya "ditanggung" oleh beberapa
perusahaan besar.
Akibatnya, mereka tetap bisa bertumbuh dan membayar
pajak.
Selain itu, evaluasi lagi efektivitas insentif pajak
yang telah diberikan selama ini.
Jajaki pajak untuk energi tak terbarukan, termasuk
pajak karbon, yang diimbangi akses carbon credit agar pemulihan bisa lebih
hijau.
Kelima, dengan kondisi seperti ini, tampaknya
pemerintah perlu mempertimbangkan dengan matang kapan waktu yang tepat untuk
mulai menarik stimulusnya.
Saya memahami bahwa defisit anggaran harus kembali
berada di bawah 3 persen pada 2023.
Namun, ini perlu dilakukan dengan hati-hati, dengan
melihat kondisi ekonomi.
Apabila pengetatan fiskal dilakukan terlalu cepat dan
drastis, kontraksi ekonomi justru akan terjadi.
Akibatnya: rasio utang terhadap PDB malah akan
meningkat karena pertumbuhan PDB-nya lemah.
Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2021 adalah sebuah
pertanda baik.
Ia membawa optimisme.
Pertanda harapan belum jera dengan negeri ini.
Namun, ada baiknya kita mengingat Meadows, "ada
terlalu banyak berita buruk untuk membuat kita berpuas diri. Ada terlalu banyak
kabar baik untuk membuat kita putus asa."
Soalnya bukan pesimistis atau optimistis, tetapi
bagaimana kita menjaga momentum pertumbuhan itu dengan kebijakan yang tepat. (Muhamad Chatib Basri,
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia)-dhn
Tulisan ini telah tayang di Harian Kompas edisi Rabu, 11 Agustus 2021