WahanaNews.co | Dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menekankan pentingnya advokasi kebijakan responsif gender sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional menuju Indonesia Emas 2045.
Tema yang diangkat pada dialog kali ini mengangkat “Peran dan Semangat Kaukus Perempuan Politik Indonesia dalam Transisi Politik 2024”.
Baca Juga:
Menteri PPPA Kawal Kasus Kekerasan Anak di Banyuwangi
Plh. Deputi bidang Kesetaraan Gender Kemen PPPA, Rini Handayani mengatakan perempuan saat ini hampir setengah dari populasi penduduk Indonesia, yang menjadi kekuatan bangsa.
Negara telah menjamin perlindungan dan pemenuhan hak perempuan melalui berbagai peraturan perundang-undangan.
“Advokasi kebijakan responsif gender merupakan kebijakan yang melaksanakan perspektif gender mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan. Salah satu strategi penting yang dilakukan adalah pengarusutamaan gender, yakni mengintegrasikan perspektif gender dalam semua bidang pembangunan,” ujar Rini, beberapa waktu lalu.
Baca Juga:
Kemen PPPA Kawal Kasus Penyekapan Anak di Jakarta
Rini juga menyoroti pentingnya ratifikasi internasional, seperti Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang disepakati sejak 1984. Indonesia telah melaporkan implementasi konvensi ini di tingkat dunia, dan laporan ke-8 sudah disampaikan.
Dalam konvensi ini terdapat 12 area kritis, termasuk kesehatan, politik, dan perlindungan perempuan selama masa kehamilan, kelahiran, dan pasca-kelahiran, yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak.
Lebih lanjut, Rini menekankan pengarusutamaan gender juga menjadi bagian dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs) ke-5, yakni mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Kebijakan ini sudah diterjemahkan ke dalam kebijakan nasional dan berbagai regulasi pemerintah.
Meskipun telah banyak upaya dilakukan, kesenjangan gender masih menjadi tantangan. Rini mengungkapkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menunjukkan bahwa perempuan masih tertinggal dari laki-laki dalam berbagai aspek, seperti kesehatan, ekonomi, dan pendidikan.
Indeks ketimpangan gender, meskipun telah menurun, masih menunjukkan kesenjangan yang perlu diatasi.
“Kementerian PPPA berkomitmen untuk mengoordinasikan upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak melalui layanan khusus dan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil. Berbagai strategi telah disusun untuk memastikan pengarusutamaan gender terimplementasi di semua sektor pembangunan, baik di tingkat kementerian maupun daerah,” katanya.
Rini pun mengajak untuk bersinergi dalam mengatasi tantangan kesetaraan gender dan memastikan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045.
Sementara itu, Westminster Foundation for Democracy (WFD) Indonesia Country Director, Ravio Patra menyampaikan tantangan representasi gender di dunia politik, terutama di parlemen.
Meskipun ada beberapa perempuan yang menduduki posisi strategis, namun jumlahnya masih sangat terbatas.
Pakar Hukum Tata Negara, Titi Anggraini yang turut hadir juga menyuarakan pentingnya penguatan peran perempuan dalam lembaga legislatif.
Titi menggarisbawahi bahwa meskipun telah ada kemajuan, Indonesia masih tertinggal jauh di belakang negara-negara lain dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen.
“Data terbaru dari Inter-Parliamentary Union (IPU) menunjukkan bahwa rata-rata global keterwakilan perempuan di parlemen telah mencapai 26%, sementara Indonesia hanya mampu mencapai 21,9% untuk DPR RI. Angka ini menempatkan Indonesia pada peringkat 100 dalam Indeks Kesenjangan Gender Global tahun 2024, turun dari peringkat 87 pada tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya kesempatan ekonomi dan pemberdayaan politik bagi perempuan. Kondisi ini menegaskan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia,” ujar Titi.
Predium KPPI, Rahayu Saraswati menyampaikan pentingnya keterlibatan perempuan dalam posisi strategis baik di tingkat daerah maupun nasional.
Ia mengatakan banyak kebijakan terkait pemberdayaan perempuan sering kali terhambat karena administrasi yang tidak memadai atau kekurangan dukungan dari lembaga terkait.
“Perlunya reformasi dalam sistem pemilihan dan penguatan kuota perempuan. Dalam konteks ini, peran dan pengaruh perempuan dalam politik harus diperkuat untuk memastikan representasi yang lebih adil dan efektif dalam pengambilan keputusan di masa depan,” pungkas Rahayu Saraswati.
[Redaktur: Zahara Sitio]