Lebih lanjut, Waryono juga mempertanyakan kurikulum pesantren mana yang hendak diubah pendeta Saifudin.
"Karena pesantren itu kan beragam. Kalau pesantren itu di bawah RMI atau Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama, itu kan sangat jelas yang diajarkan adalah Islam wasathiyah, Islam rahmatan lil alamin," ujar Waryono
Baca Juga:
BNPT Ungkap Larangan UAS Masuk Singapura Jadi Pelajaran untuk RI
Dia pun menilai, pernyataan Saifudin tersebut hanya menggeneralisir pesantren yang ada di Indonesia. Apalagi, pendeta Saifuddin mengaku dirinya merupakan mantan pengajar di Pondok Pesantren Al-Zaytun.
"Al Zaytun kan orang tau semua [itu] pesantren apa. Jadi tidak boleh dong melakukan generalisasi. Al Zaytun itu hanya satu dari 36 ribu lebih pesantren. Jangan karena satu pesantren kemudian mengusulkan sesuatu yang beliau sendiri tidak yakin," ucapnya.
Senada, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis mendesak agar pendeta Saifudin perlu diperiksa zahir batinnya. Menurutnya, hal itu dilakukan agar toleransi di Indonesia tetap terjaga.
Baca Juga:
Dinobatkan Sebagai Kota Paling Tidak Toleran, Walkot Depok: Jangan Asal Bunyi
"Perlu diperiksa zahir batinnya, baik oleh dokter jiwa dan aparat penegak hukum agar toleransi terus terjaga di Indonesia," kata Cholil melalui cuitannya di Twitter, dikutip Senin (14/3).
Sebelumnya, di dalam video, Saifudin menilai Yaqut mestinya tak hanya mengatur soal masalah adzan, tetapi juga menghapus 300 ayat Al Qur'an yang menurutnya menyebabkan kurikulum di pesantren mengajarkan paham radikalisme.
"Bahkan kalau perlu 300 ayat yang menjadi pemicu hidup intoleran, pemicu hidup radikal dan membenci orang lain karena beda agama itu di-skip atau direvisi atau dihapuskan dari Al Quran Indonesia. Ini sangat berbahaya sekali," kata Saifudin dalam sebuah video, dikutip pada Senin (14/3).