WahanaNews.co | Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan (Kemnaker) Dita Indah Sari menekankan, manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) adalah untuk tabungan masa depan. Bukan masa kini.
Penjelasan Dita tersebut untuk merespons soal JHT yang baru bisa dicairkan setelah pegawai berusia 56 tahun.
Baca Juga:
MK Putuskan Libur 1 untuk 6 Hari dalam UU CiptaKerja Bertentangan dengan UUD
Seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang tata cara pencairan manfaat JHT.
"Masyarakat harusnya lebih memahami bahwa sesuai dengan namanya Jaminan Hari Tua (JHT), penggunaan atau manfaatnya memang untuk masa depan. Bukan untuk masa kini," jelas Dita, Sabtu (12/2/2022).
Kata dia, JHT itu adalah jaminan kecelakaan kerja, jaminan kesehatan, dan jaminan kematian ketika pekerja tidak produktif lagi.
Baca Juga:
MK Kabulkan 70% Tuntutan Buruh, Serikat Pekerja Rayakan Kemenangan Bersejarah dalam Revisi UU Cipta Kerja
"Itu adalah jaminan hari tua dan jaminan pensiun," tambahnya.
Karena itu, lanjut dia, jaminan hari tua mestinya tidak bisa diambil, dikurangi, bahkan dihabisin pada saat masa muda.
"Sehingga, ketika pekerja sudah enggak produksi lagi sudah tua jatuh ke jurang kemiskinan," terangnya.
Kendati mendapat penolakan dari serikat pekerja, Kemenaker kekeh bahwa JHT yang baru bisa cair pada usia 56 tahun itu sebagai amanat UU SJSN 40/2004.
JHT dikembalikan sebagai bantalan hari tua. Jaminan Pensiun.
"Memang aslinya untuk itu," terang Dita.
Menjawab kekhawatiran itu, Dita menerangkan, pemerintah dalam hal ini Kemnaker telah menyiapkan program bantalan atau pengganti, yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Kata Dita, JKP akan menjadi jaminan manfaat bagi pekerja yang mengalami pemutusan kerja di tengah jalan.
"Kalau tidak ada JKP, kami tidak akan mau menggeser situasi JHT sekarang. Karena tahu bahwa ini membantu saat PHK. Tapi karena sudah ada JKP plus pesangon, ya dibalikin untuk hari tua," kata dia.
"Karena JKP-nya sudah siap. Anggarannya sudah siap. Sudah masuk 6 triliun dari pemerintah," tegas Dita saat ditanya mengenai kekhawatiran pekerja ketika di-PHK di tengah jalan, dan usinya belum sampai 56 tahun.
Respons Serikat Pekerja
Kendati dikalim sudah siap, JKP tetap dianggap tak mampu menyelesaikan masalah. Terlebih di tengah pandemi ini, pemutusan hubungan kerja di mana-mana.
Lagian, JKP pun masih baru. Tidak semua pekerja terdaftar.
"Katanya ada program-program baru, tapi banyak juga pekerja-pekerja yang belum terdaftar," kata Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia Mirah Sumirat menanggapi program baru Kemnaker itu.
Untuk saat ini, di tengah pandemi ini, lanjut Mirah, JHT masih sangat dibutuhkan.
Dia pun menganganggap penerbitan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 itu mengabaikan kondisi psikologis pekerja dan buruh saat ini.
"Dari peraturan terbaru ini, pemerintah sepertinya tidak punya kepedulian yang sekarang sedang dirasakan oleh para pekerja buruh Indonesia," ujar Mirah.
Saat ini, tambah Mirah, situasi kehidupan buruh Indonesia sangat genting. PHK massal terjadi.
Banyak buruh diputus kerja tanpa pesangon. Ditambah lapangan juga sangat minim.
"Ketika situasi seperti ini, maka manfaat Jaminan Hari Tua itu sangat dibutuhkan oleh para pekerja di Indonesia," tegasnya.
Untuk diketahui, sebelum Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 diterbitkan, berlaku Permenaker Nomor 19 tahun 2015.
Pada Permenaker lama tersebut, pencairan manfaat JHT dapat dilakukan tanpa harus menunggu pekerja berusia 56 tahun.
Sehingga, pekerja yang di-PHK dan tidak dapat pesangon, masih punya JHT sebagai harapan alternatif.
Selain itu, pemerintah tak ada alasan untu menahan jamina hari tua. Pasalnya, JHT itu adalah uang dan hak para pekerja.
"JHT itu adalah hak pekerja, karena iurannya dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja itu sendiri," terangnya.
"Tidak ada alasan untuk menahan uang pekerja, karena JHT yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan itu adalah dana milik nasabah yaitu pekerja, bukan milik pemerintah," tegasnya lagi.
Alasan lain kenapa pekerja ngotot menolak Permenaker Nomor 2 Tahun 2022, karena peraturan itu salah satu turunan Ominbus Law atau UU Cipta Kerja yang masih inkonstitusional.
"Perlu diingat juga putusan Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan bahwa UU Cipta Lapangan Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar," kata dia. [qnt]