WahanaNews.co | Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menawarkan gagasan re-konsensus nasional untuk mengembalikan sistem demokrasi Pancasila melalui Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli, untuk kemudian disempurnakan dengan cara adendum
Hal itu dikatakan LaNyalla saat menyampaikan keynote speech di Dialog Nasional Kebangsaan Dewan Harian Daerah Badan Pembudayaan Kejuangan 45, di Gedung Nusantara V Komplek Parlemen Senayan, (17/9/2022).
Baca Juga:
Ada Benny Tampubolon dan Mangaraja Simanjuntak, Ini Nama 16 Kolonel yang Naik Pangkat Jadi Jenderal
Tema yang diangkat adalah "Kaji Ulang UUD 1945 Hasil Amandemen Menuju Kembali ke UUD 1945"
Senator asal Jawa Timur itu menegaskan telah menyusun buku 'Peta Jalan Mengembalikan Kedaulatan dan Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat’ dengan harapan dapat menjadi kesepakatan bersama untuk dipedomani.
LaNyalla berharap peta jalan yang disusunnya dapat diresonansikan ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga menjadi kesadaran bersama seluruh anak bangsa.
Baca Juga:
Panglima TNI: Acara Buka Puasa Bersama Pererat Sinergitas dan Soliditas TNI-Polri
Menurutnya, kesadaran ini belum merata di kalangan masyarakat, utamanya di tingkat lapisan bawah. Masih banyak elemen masyarakat yang tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa perubahan konstitusi yang terjadi di tahun 1999 hingga 2002 telah mengubah hampir 95 persen pasal-pasal dalam batang tubuh UUD kita.
"Masih banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa perubahan itu telah meninggalkan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi, karena isi dari pasal-pasal UUD baru tersebut justru menjabarkan ideologi lain, yaitu liberalisme dan individualisme," papar LaNyalla.
Dikatakan LaNyalla, perubahan konstitusi itu sama artinya dengan membubarkan negara Proklamasi 17 Agustus 1945, karena telah menghilangkan nilai perjanjian luhur bangsa Indonesia, dengan menghapus dokumen nasional sebagai identitas nasional serta menghilangkan nilai Proklamasi sebagai suatu kelahiran baru.
"Perubahan itu juga merupakan pelanggaran serius terhadap norma hukum tertinggi yakni Pancasila, karena telah menghapus peran MPR sebagai Lembaga Tertinggi yang melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan merombak total sistem demokrasi permusyawaratan-perwakilan, sebagai perwujudan sistem demokrasi Pancasila," ujar LaNyalla.
Perubahan itu juga telah menghapus penjelasan tentang UUD Negara Indonesia. Padahal, penjelasan UUD merupakan bagian tak terpisahkan dari Pembukaan dan pasal-pasal dalam UUD 1945.
Ada banyak lagi berbagai persoalan yang masih belum disadari oleh masyarakat luas terkait perubahan konstitusi pada tahun 1999-2002 silam. Azas kesejahteraan rakyat yang identik dengan pemerataan ekonomi tak lagi menjadi nafas negara ini dalam menjalankan roda perekonomian.
Pun halnya masyarakat banyak yang belum menyadari terjadi kerusakan kohesi bangsa akibat pemilihan presiden langsung yang diperparah dengan pemberlakuan ambang batas pencalonan atau Presidential Threshold.
"Perubahan itu telah membuka peluang pencaplokan Indonesia oleh Bukan Orang Indonesia Asli. Karena perubahan itu telah mengubah pasal 6 konstitusi dengan menghapus kalimat; Presiden Indonesia ialah orang Indonesia asli, diganti menjadi warga negara Indonesia," tutur LaNyalla.
"Perubahan itu juga telah memberikan kekuasaan penuh kepada partai politik
untuk menentukan arah perjalanan bangsa ini. Karena faktanya, hanya DPR RI yang merupakan representasi partai politik yang berkuasa di Legislatif," tambah LaNyalla.
DPD RI, ia melanjutkan, tak memiliki kekuasaan sebagai pembentuk undang-undang, meski ia merupakan representasi peserta pemilu perseorangan.
Oleh karenanya, LaNyalla menilai sudah menjadi tugas utama kita semua untuk mempercepat dan memperluas kesadaran ini kepada seluruh masyarakat.
"Terutama masyarakat di lapis bawah, karena perjuangan ini adalah perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat," tegas LaNyalla.
Selain memperluas kesadaran masyarakat, LaNyalla menilai yang juga tidak kalah penting adalah menggugah kesadaran para pemegang kekuasaan. Termasuk presiden sebagai kepala negara dan semua pejabat negara di Republik ini.
"Kita tidak bisa terus-menerus seperti ini, mengikuti sistem yang tidak cocok dan tidak tepat untuk bangsa yang super majemuk ini," tutur LaNyalla.
Kita tak bisa terus menerus berhutang keluar negeri, sehingga tak mampu menyiapkan diri dalam menghadapi perubahan global karena keterbatasan finansial, oleh sebab bangsa ini selalu dalam keadaan defisit ABPN.
"Oleh karenanya, saya berharap gagasan kembali kepada UUD 1945 naskah asli terus diresonansikan, sehingga menjadi kesadaran bersama seluruh anak bangsa," demikian LaNyalla.
Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI didampingi Senator Tamsil Linrung (Sulsel), Sekjen DPD RI Rahman Hadi, Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Kabiro Setpim Sanherif Hutagaol.
Sedangkan dari Badan Pembudayaan Kejuangan 45 hadir Ketua Umum Dewan Harian Nasional Angkatan 45 Badan Pembudayaan Kejuangan 45 (DHN 45), Letjen TNI (Purn) Dr. H. Ramli Hasan Basri, Ketua Umum Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Badan Pembudayaan Kejuangan 45 (DHD 45) Provinsi DKI Jakarta, Laksma TNI (Purn) Dr. Asep Saepudin, S.Ag., S.H., M.H, mantan Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko, mantan Irjen Dephan, Letjen TNI (Purn) Suharto, mantan Wagub DKI, Mayjen TNI (Purn) Prijanto, Ketua Panitia A Rasyid Muhammad dan pengurus DHD 45 se-Indonesia yang hadir secara online serta sejumlah tamu undangan lainnya.
Hadir sebagai narasumber Wakil Presiden ke-6 periode 1993–1998 sekaligus Ketua Dewan Kehormatan DHN 45 Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, Kepala Staf TNI AD periode 2007-2009 Jenderal TNI (Purn) Agustadi Sasongko Purnomo, Guru Besar Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Kaelan, M.S, Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia, Dr Mulyadi Opu Andi Tadampali.[rin]