WahanaNews.co |
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta agar penggunaan GeNose
sebagai syarat perjalanan dihapus.
YLKI menilai, GeNose memiliki
akurasi yang rendah.
Baca Juga:
Kritik Pedas YLKI: Kebijakan Harga Tiket Taman Nasional 100-400% Justru Bunuh Minat Wisatawan
Desakan itu disampaikan di
tengah ledakan jumlah kasus baru penularan virus Corona di tanah air.
Jumlah kasus virus Corona Covid-19
bertambah 14.536 pada Senin (21/6/2021).
Total kasus positif mencapai
2.004.445, sembuh 1.801.761, dan meninggal 54.956 jiwa.
Baca Juga:
Kandungan Pestisida Anggur Shine Muscat Viral, YLKI Tegaskan Pentingnya Pengawasan Ekstra
Penambahan kasus baru hari
ini menjadi rekor tertinggi dalam sejarah wabah Covid-19 di Indonesia.
Rekor tertinggi sebelumnya
tercatat pada 30 Januari 2021 dengan angka kasus mencapai 14.518.
Ketua YLKI, Tulus Abadi,
mengatakan, rendahnya akurasi hasil tes GeNose ini mengkhawatirkan karena bisa
menghasilkan hasil negatif yang "palsu".
"Banyak kasus,
akurasinya mengindikasikan rendah. Dikhawatirkan menghasilkan "negatif
palsu"," kata Tulus, dalam keterangannya, Rabu (23/6/2021).
Dia mengatakan, faktor harga
seharusnya bukan pertimbangan utama.
Sebab, hal ini terkait dengan
keselamatan dan keamanan seseorang.
"Sebaiknya pilih antigen
(minimal), demi keamanan dan keselamatan bersama. Dan demi terkendalinya wabah
Covid," ujarnya.
Senada, ahli biologi molekuler,
Ahmad Utomo, juga menyarankan agar pemerintah kembali mengacu pada penggunaan
alat tes deteksi Corona yang sudah baku dan diakui secara internasional.
"Kembalikan ke tes
standar baku, kecuali sudah ada bukti validasi GeNose. Tes GeNose adalah untuk screening bukan untuk diagnosis. Jika
dipakai sebagai syarat verifikasi perjalanan maka penggunaan GeNose tidak
sesuai fungsinya," kata Ahmad.
Ia mengatakan, hingga kini
penggunaan GeNose memang belum didukung oleh bukti validasi eksternal sebagai
uji keterpaparan Covid-19.
Ia menyoroti cara kerja
GeNose.
GeNose, kata dia, sama sekali
tidak mendeteksi komponen virus yang ada di dalam tubuh pasien yang diperiksa
layaknya seperti yang dilakukan pada pemeriksaan penggunakan alat tes Swab
Antigen atau PCR.
GeNose hanya mendeteksi
beberapa jenis gas yang terkandung dalam uap napas yang diembuskan pasien.
Dari sana, alat yang
terhubung dengan kecerdasan buatan atau artificial
intelegence (AI) pada perangkat lunak GeNose akan mendeteksi ada tidaknya
kandungan gas yang umumnya dikeluarkan oleh pasien yang sudah terkonfirmasi Covid-19.
"Jadi dia nggak mendeteksi virusnya, tapi dia
mendeteksi gasnya," jelas Agus.
Kondisi ini, lanjut dia, yang
bisa berbahaya, karena ada risiko sistem perangkat lunak gagal mendeteksi
terpapar atau tidaknya seseorang dari virus Corona.
"Yang kita khawatirkan
bukan positif palsu, tapi justru yang bahaya kalau dia negatif palsu,"
tegasnya.
Ahmad menjelaskan, tes GeNose
adalah untuk screening, bukan untuk
diagnosis.
Jika dipakai sebagai syarat
verifikasi perjalanan, maka penggunaan GeNose tidak sesuai fungsinya.
"Kalau misalnya hasil screening itu membolehkan dia untuk
bekerja atau dia boleh sekolah atau dia boleh bepergian, menurut saya bukan
sekadar screening. Itu dalam tanda
kutip sudah diagnosis," jelas dia. [qnt]