WahanaNews.co, Jakarta - Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), tidak semua pekerja migran Indonesia (PMI) perempuan yang menjadi korban kekerasan melaporkan kasus tersebut kepada kepolisian.
"Terdapat lima rintangan fundamental yang membatasi, mengurangi, dan menghapuskan hak pekerja migran perempuan atas keadilan dan pemulihan," kata Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin dalam dialog bertajuk "Memperkuat Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) untuk Memastikan Akses Keadilan Perempuan Pekerja Migran Korban Kekerasan Berbasis Gender", di Jakarta, Kamis (6/6/2024).
Baca Juga:
Hari Jadi ke-73: Humas Polri Gelar Donor Darah Bareng Wartawan
Hambatan pertama, karena tempat kejadian kekerasan yang bersifat lintas daerah atau negara yang sangat menyulitkan pembuktian.
Kedua, adanya kriminalisasi, penyiksaan, intimidasi, dan ancaman kekerasan oleh aparat kepada korban.
Ketiga adalah perspektif dan perilaku aparat yang diskriminatif kepada korban.
Baca Juga:
Pemkab Parigi Moutong dan BPJAMSOSTEK Berkomitmen Lindungi Aparat Desa Lewat Jamsostek
"Keempat, minimnya akses pemulihan selama korban menjalani proses peradilan pidana, dan yang kelima adalah keengganan korban melaporkan kasusnya secara pidana," kata Mariana Amiruddin.
Sejak 2019 hingga 2023, jumlah PMI hampir mencapai satu juta orang, dengan 62 persennya adalah pekerja migran perempuan.
Selama kurun waktu tersebut, Komnas Perempuan mencatat ada 1.683 pekerja migran perempuan yang mengalami kekerasan. Namun demikian, tidak semua korban tersebut melaporkan kasusnya.
Mariana Amiruddin menambahkan pekerja migran perempuan sangat rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, baik kekerasan fisik, seksual, juga secara ekonomi.
"Kekerasan tersebut mereka alami di semua tahapan, yaitu ketika sebelum bekerja, selama bekerja, dan juga setelah bekerja," katanya.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]