WahanaNews.co, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memanggil Komisaris Utama PT Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Dia diperiksa berstatus sebagai saksi dalam kasus tindak pidana korupsi pengadaan liquefied natural gas (LNG) di PT Pertamina, dengan tersangka Karen Agustiawan.
Baca Juga:
Veronica Tan di Kabinet Merah Putih, Prabowo Titipkan Misi Besar untuk Anak dan Perempuan
"Saksi juga dikonfirmasi pengetahuannya terkait adanya dugaan kerugian keuangan negara dalam pengadaan tersebut," ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri kepasa wartawan pada Rabu (8/11/2023) mengutip VIVA.
Ali menjelaskan kalau Ahok juga dikonfirmasi soal awal mula rekomendasi pengadaan liquefied natural gas (LNG) di PT Pertamina.
"Saksi hadir dan didalami pengetahuan saksi antara lain terkait dengan bagaimana rekomendasi awal mula pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di PT PTMN (Pertamina)," kata Ali.
Baca Juga:
Jika Diusung PDIP di Pilgub Jakarta 2024, Ahok Siap Menangkan Anies Baswedan
Enam Jam Lebih Ahok Diperiksa jadi Saksi
Ahok telah rampung menjalani pemeriksaan sebagai saksi dugaan kasus korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina tahun 2011-2021. Dia telah menjalani pemeriksaan sebagai saksi kurang lebih sekira enam jam lamanya.
Ahok mulai diperiksa KPK pada Selasa 7 November 2023 sekira pukul 09.00 WIB. Setelahnya, pemeriksaan rampung sekira pukul 15.41 WIB. Dia menjelaskan kalau pemeriksaannya sebagai saksi itu untuk tersangka eks Dirut Pertamina Karen Agustiawan.
"Pemeriksaan tanya ke penyidik. Ini urusan jadi saksi buat masalah ibu Karen. Itu aja sih," ujar Ahok kepada wartawan, Selasa (7/11/2023).
Ahok pun tak merinci secara gamblang soal pemeriksaannya bahkan soal kasus korupsi yang menjerat Karen itu. Dia hanya menyebutkan kalau semua akan dijelaskan terang benderang di persidangan.
"Nggak bisa buka, nanti di pengadilan," kata dia.
Sebelumnya diberitakan, mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina, Karen Agustiawan ditetapkan sebagai tersangka atas kasus tindak pidana korupsi pengadaan liquefied natural gas (LNG) di PT Pertamina.
Penyidik KPK langsung menahan Karen usai ditetapkan sebagai tersangka. Penahanan terhadap Karen dilakukan setelah menjalani pemeriksaan sejak Selasa, 19 September 2023 pagi. Karen sendiri nampak mengenakan baju tahanan KPK berupa rompi berwarna oranye.
"Untuk kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik melakukan penahanan tersangka GKK alias KA selama 20 hari pertama terhitung 19 September 2023 sampai dengan 8 Oktobet 2023 di Rutan KPK," kata Ketua KPK, Firli Bahuri dalam konferensi pers, Selasa, (19/9/2023).
Kasus ini berawal saat PT Pertamina memiliki rencana untuk mengadakan liquefied natural gas (LNG) sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia pada 2012 lalu.
Pengadaan LNG dibutuhkan melihat perkiraan defisit gas yang akan terjadi di Indonesia pada 2009-2040.
Karen yang menjadi Dirut Pertamina periode 2008-2014 mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerjasama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri di antaranya perusahaan CCL LLC Amerika Serikat.
"Saat pengambilan kebijakan, KA secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina," ungkapnya.
"Pun, pelaporan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) juga tidak dilakukan sama sekali. Sehingga tindakan KA tidak mendapat restu dan persetujuan pemerintah," sambung Firli.
Singkat cerita, seluruh kargo LNG milik Pertamina yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tak terserap di pasar domestik. Sehingga kargo LNG menjadi oversupply dan tidak pernah masuk ke Indonesia.
Akibatnya, harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina. Perbuatan Karen ini kata Firli menyebabkan kerugian keuangan negara USD140 juta yang ekuivalen dengan Rp 2,1 triliun.
Karen disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
[Redaktur: Alpredo Gultom]