WahanaNews.co | Suciwati, istri aktivis HAM, Munir Said Thalib, meminta
Ombudsman RI untuk menelaah kembali dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh
negara atau Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
Dugaan
yang dimaksud Suciwati yakni dalam kasus hilangnya laporan Tim Pencari Fakta
(TPF) pembunuhan Munir.
Baca Juga:
Polda Metro Benarkan Nikita Mirzani Laporkan Pengacara Razman Nasution
"Dan
hari ini kita masih meminta kepada pihak Ombudsman untuk meminta dilihat lagi
soal maladministrasi negara atas hilangnya (laporan) TPF itu," kata
Suciwati dalam diskusi daring, Selasa (16/3/2021).
Ia
menilai, Kemensetneg tidak bekerja secara profesional dengan menyatakan diri
tidak memegang laporan investigasi TPF kasus Munir.
Padahal,
menurut dia, hal seperti itu seharusnya selalu dicatat oleh Kemensetneg.
Baca Juga:
Komitmen Perangi Narkoba, Ditintelkam Polda Jambi Tandatangani Pakta Integritas
"Bagaimana
dokumen penting pun dengan mudah hilang, tidak tahu apakah setelahnya itu
selesai persoalannya? Enggak ada rasa tanggung jawab, sedikit pun tidak ada. Dan mereka
merasa baik-baik saja," ujar dia.
Sebelumnya,
pada 28 April 2016, Suciwati bersama Kontras mendaftarkan permohonan
sengketa informasi ke KIP untuk mendesak Kemensetneg mengumumkan laporan TPF
kasus Munir.
Kontras
berharap KIP bisa memecahkan kebuntuan dalam penuntasan kasus Munir, sesuai
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Alasan
Kontras, KIP "memberikan energi positif di tengah menghadapi tantangan
sulitnya masyarakat dalam mengakses dan mendapatkan informasi dari Lembaga
Publik Negara tanpa alasan yang jelas."
Dalam
dokumen kesimpulan sebagai Pemohon yang diajukan ke KIP, Kontras menjelaskan
bahwa Tim Pencari Fakta Kasus Munir dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 111 Tahun 2004 pada 22 Desember 2004 oleh Presiden SBY.
TPF
telah bekerja selama enam bulan, dan menyerahkan laporan penyelidikan pada 24
Juni 2005.
Penyerahan
ini sehari setelah berakhirnya masa kerja anggota TPF Munir.
Menurut
Koordinator Kontras saat itu, hasil laporan TPF Kasus Munir diserahkan kepada
Presiden SBY oleh Ketua TPF, Brigjen Marsudi Hanafi.
"Namun
demikian, laporan yang diserahkan tersebut hingga hari ini belum pernah
diumumkan secara resmi oleh Pemerintah cq Presiden RI kepada publik sebagaimana
mandat Penetapan Kesembilan dari Keppres dimaksud," demikian penjelasan
Kontras saat menjelaskan alasan mengajukan sengketa informasi ke KIP.
Persidangan
perdana KIP mengenai Laporan TPF Munir dilakukan pada 22 Juni 2016.
Namun,
sidang perdana itu ditunda karena ketidakhadiran Kemensetneg yang beralasan
sedang menyiapkan dokumen persidangan.
Dalam
sidang perdana itu, Kontras yang diwakili Haris Azhar mengungkapkan bahwa pada
17 Februari 2016 Kontras mengajukan permohonan ke Setneg untuk segera
mengumumkan laporan TPF Munir.
Namun,
permohonan itu ditolak dengan alasan tidak menguasai dokumen yang dimaksud.
Sidang
kemudian berlanjut dengan mengungkap sejumlah fakta menarik.
Di
antaranya, dalam sidang keenam pada 19 September 2016, Kepala Bidang Pengelola
Informasi Publik Kemensetneg, Faisal Fahmi, menyangkal jika Kemensetneg
menyimpan laporan hasil investigasi TPF Kasus Munir.
Kemensetneg,
kata dia, hanya menerima laporan terkait administrasi, misalnya anggaran.
Sementara laporan terkait hasil investigasi TPF, lanjut Faisal, tidak disimpan
Kemensetneg. [qnt]