WAHANANEWS.CO, Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) RI, Mahfud MD, mengungkapkan bahwa dua cucu dari keponakannya ikut menjadi korban keracunan makanan dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) di sebuah sekolah di Yogyakarta.
“Cucu saya juga keracunan... Iya, MBG. Di Jogja. Cucu ponakan ya,” kata Mahfud dalam tayangan kanal Youtube Mahfud MD Official yang disiarkan Selasa (30/9/2025) malam.
Baca Juga:
Mahfud MD Siap Bergabung Komite Reformasi Polri, Fokus Perbaiki Kultur dan Meritokrasi
Mahfud tidak merinci kapan kejadian itu berlangsung, namun ia menyebut kedua cucu keponakannya bersama sejumlah murid lain di sekolah tersebut mengalami muntah-muntah usai menyantap menu MBG.
“Satu kelas itu delapan orang langsung muntah-muntah. Nah yang enam itu, enam dan kakaknya, kakak yang masih dirawat di rumah sakit itu habis muntah-muntah sehari disuruh pulang, bisa dirawat di rumah,” ujarnya.
Mahfud menambahkan, satu cucu lain masih harus dirawat lebih lama di rumah sakit.
Baca Juga:
Mahfud MD Ungkap Ditawari Menko Polkam, Pilih Tolak Demi Etika Politik
“Tapi yang ini (cucu satunya lagi) sampai empat hari di rumah sakit. Ada dua, bersaudara. Beda kelas. Di sekolah yang sama. Masih dirawat di rumah sakit sampai kemarin saya masih di Jogja. Sekarang mungkin hari ini sudah membaik,” sambung Mahfud yang juga pernah menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam kesempatan itu, Mahfud menanggapi pernyataan Presiden RI Prabowo Subianto yang menyebut kesalahan pelaksanaan MBG hanya 0,00017 persen dari total penerima.
Menurutnya, persoalan keracunan makanan tidak bisa hanya dilihat dari sudut angka.
“Tapi kan juga jutaan pesawat terbang di dunia ini lalu lalang setiap hari kecelakaan satu saja tidak sampai 0,00017 persen orang sudah ribut, karena menyangkut nyawa, kesehatan. Jadi bukan persoalan angka, ini harus diteliti lagi apa masalahnya,” tegas Mahfud.
Meski begitu, ia mengapresiasi program MBG sebagai langkah mulia untuk memenuhi gizi anak, terutama yang berasal dari keluarga kurang mampu, namun harus disertai evaluasi menyeluruh.
Mahfud menilai salah satu aspek mendesak yang perlu diperbaiki adalah tata kelola program MBG, khususnya terkait kejelasan pihak penyelenggara di tingkat bawah karena pemerintah daerah tidak dilibatkan secara struktural.
“Begitu ada masalah keracunan, mereka (pemda) yang turun. Ada yang satu sekolah, guru tidak digaji, tidak ikut panitia tapi ikut membersihkan ompreng. Lalu ada yang hilang dia suruh ganti, padahal dia bukan panitia. Iya kan,” ungkapnya.
Selain tata kelola, Mahfud juga menyoroti dasar hukum MBG yang menurutnya masih belum jelas, apakah berbentuk Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Pemerintah (PP), atau Undang-undang.
Padahal, kata dia, setiap program dengan alokasi anggaran negara seharusnya memiliki payung hukum yang tegas.
“Tata kelolanya kan minimal asas kepastian hukumnya nggak jelas. Siapa yang melakukan apa, yang bertanggungjawab ini siapa kepada siapa, dari siapa kepada siapa, kan kita tidak tahu,” ujar Mahfud.
Ia menegaskan asas kepastian hukum harus tersedia agar publik bisa mengakses peraturan yang jelas sekaligus memahami ukuran benar dan salah dalam pelaksanaan program.
“Kalau kita mau mengatakan, ‘oh itu di kabupaten sana atau di sekolah sana atau di pengelola dapur nomor sekian, pengelolanya tidak benar, terus apa ukuran ketidakbenaran’. Kan harus ada tata kelolanya yang diatur, misal dengan PP atau dengan Perpres. Itu kan harus begitu. (Sejauh ini tidak ada semua?) iya,” ucapnya.
Menurut Mahfud, kepastian hukum juga akan memperjelas tanggung jawab Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), sekaligus merinci prosedur, standar, dan kewenangan para pihak di lapangan, mulai dari pemerintah daerah, kepala sekolah, hingga guru.
“Kepastian hukum itu pentingnya adalah agar orang bisa memprediksi, kalau saya melakukan ini, kalau benar ini akibatnya, kalau salah saya akan menerima akibat ini,” tuturnya.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]