Hal ini, menurutnya, harus dijadikan momentum oleh pemerintah daerah agar tidak tertinggal dalam agenda transformasi energi.
“Jangan sampai dunia usaha berlari cepat, tetapi kebijakan daerah justru berjalan pelan karena birokrasi. Ketika regulasi seperti Perpres PLTSa diterbitkan, maka semua pihak, baik pusat, daerah, maupun pelaku industri, harus bergerak dalam satu irama,” tegasnya.
Baca Juga:
Transformasi Energi di Dermaga Militer: PLN Suplai Listrik untuk Koarmada II
Tohom yang juga Pengamat Energi dan Lingkungan ini menegaskan bahwa teknologi WtE bukan hanya proyek bisnis, tetapi instrumen strategis yang dapat mengurangi beban TPA, membuka lapangan kerja baru, dan menjadikan sampah sebagai aset ekonomi.
“Pendekatan ekonomi sirkular harus segera menjadi dasar kebijakan nasional. Kita tidak boleh lagi melihat sampah sebagai beban APBD, tetapi sebagai bahan bakar masa depan yang bisa dikonversi menjadi energi listrik bernilai tinggi,” ucapnya.
Ia menambahkan, bila proyek-proyek seperti yang disiapkan TOBA, OASA, dan BIPI dikawal dengan regulasi yang tegas dan terukur, maka Indonesia berpeluang menjadi pusat pengembangan industri energi berbasis limbah terbesar di Asia Tenggara.
Baca Juga:
Darurat Sampah, MARTABAT Prabowo-Gibran Apresiasi Rencana Pemerintah Bangun PLTSa di 33 Provinsi
“Indonesia jangan hanya jadi pasar teknologi, tapi harus jadi pemain utama. Dengan dukungan politik yang kuat dari pemerintahan Prabowo-Gibran, saya yakin kita bisa mencapai swasembada energi ramah lingkungan,” tutupnya.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]