WahanaNews.co | Selasa (8/2/2022) pagi, situasi Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, tiba-tiba mencekam karena kedatangan bermobil-mobil pasukan polisi.
Pasukan polisi berseragam dan perlengkapan komplet datang ke kampung yang wilayahnya akan menjadi bagian dari tempat penambangan batu andesit untuk pembangunan Bendungan Bener.
Baca Juga:
Batara Ningrat Simatupang, Pendekar Ekonomi yang Tak Henti Mengais Ilmu
Bendungan itu merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), dan warga Wadas diketahui sudah melakukan keberatan sejak setidaknya pada enam-tujuh tahun lalu.
Tensi emosi pada Selasa itu pun menjadi memanas, setidaknya bagi warga Wadas.
Polisi --baik yang berpakaian seragam maupun berpakaian bebas-- menangkap sejumlah warga yang diklaim penegak hukum sebagai provokator.
Baca Juga:
Sederet Kebijakan Rizal Ramli untuk RI yang Patut Diapresiasi
Hingga Rabu (9/2/2022) pagi, kemudian terdata setidaknya 64 warga Wadas dan pendamping hukumnya yang dibawa polisi.
Polda Jateng mengklaim, pasukan yang dikerahkan itu merupakan buah dari permintaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang hendak melakukan pengukuran tanah.
Beda pandangan terkait kehadiran aparat di sana pun muncul.
Sebagian kelompok masyarakat sipil yang membantu advokasi masyarakat setempat mengatakan bahwa polisi bertindak intimidatif dan sewenang-wenang.
Mereka mencopoti spanduk hingga menangkap warga tak bersalah di Wadas.
Sementara, polisi membantah tuduhan itu.
Siapa benar?
Dan, apa yang bisa dimaknai dari peristiwa di Wadas itu?
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai, upaya-upaya yang dilakukan kepolisian seolah mencoba mengintimidasi masyarakat yang menolak pembangunan itu.
Ia mengatakan, cara-cara represif tersebut serupa dengan apa yang dilakukan rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden kedua RI, Soeharto, ketika menghadapi penolakan pembangunan.
"Tentu mengingatkan kita pada era orde baru, (misalnya) saat pembangunan Waduk Kedung Ombo, di Jawa Tengah juga," kata Bambang, saat dihubungi wartawan, Selasa (8/2/2022).
Menurut Bambang, cara-cara represif dengan menggunakan pola-pola yang intimidatif tidak dapat dibenarkan untuk menyelesaikan suatu permasalahan dalam bernegara.
Dengan langkah yang telah dilakukan, kata dia, pemerintah seolah menunjukkan arogansi kekuasannya terhadap masyarakat ketika erhadapan dengan negara.
Seharusnya, aparat pemerintah ataupun penegak hukum dapat mengedepankan cara-cara persuasif.
Bambang menjelaskan bahwa pengerahan aparat kepolisian sejatinya memang dapat dilakukan jika merujuk pada undang-undang terkait.
Namun, upaya tersebut tetap harus mengikuti koridor standar operasional prosedur (SOP) di Korps Bhayangkara.
Aparat, kata dia, tak dapat melakukan tindakan-tindakan di luar kewenangan dalam melakukan pengamanan.
Dalam kasus Wadas, Bambang menilai bahwa Polri berlebihan ketika mengerahkan personel bersenjata lengkap untuk mengamankan lokasi.
Hal tersebut, dinilai memprovokasi masyarakat sehingga tak lagi damai.
"Pengerahan aparat bersenjata tentunya harus terukur. Seberapa potensi kericuhan, bahaya, dan sebagainya. Yang dihadapi adalah rakyat sendiri loh, mereka bukan kelompok bersenjata, bukan kelompok teroris," katanya.
Perihal memori “pengusiran” warga desa demi pembangunan Waduk Kedung Ombo pun dikisahkan kembali oleh jaringan Gusdurian lewat sebuah utas atau thread.
"14 Januari 1989, warga kelabakan. Perlahan-lahan volume air mulai meninggi, menggenangi kampungnya. Tingginya tak lagi beberapa milimeter, karena sudah sampai semata kaki," demikian utas Gusdurian yang dibuat pada Selasa (8/2/2022), mulai pukul 18.07 WIB.
"Kisah #MelawanWadas dan Kedung Ombo memiliki kesamaan di mana petani harus terusir dari tanahnya yang begitu subur. Tanah yang bisa membuat 'tongkat kayu dan batu jadi tanaman," demikian kelanjutan dari utas tersebut.
Potensi Konflik Sebelum Terjunkan Pasukan
Terpisah, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menilai, pengerahan aparat kepolisian menuju Desa Wadas di tengah proses sengketa lahan cenderung berpotensi menimbulkan konflik.
Polisi, kata Sugeng, seharusnya menyadari bahwa keberadaan mereka untuk melakukan tindakan-tindakan di atas tanah yang belum sepenuhnya dibebaskan berpotensi menimbulkan perlawanan warga sehingga membuat pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
"Dalam situasi yang belum pasti ini, Polda Jateng harus mencermati dan menahan dulu pengerahan personel bersenjatanya," ucap Sugeng, saat dihubungi wartawan.
"Potensi konflik dan pelanggaran HAM cukup besar bila ada perlawanan dari warga yang sama-sama mengklaim milik hak,' tambah dia.
Menurut Sugeng dari IPW, dalam melaksanakan tugas Polri diamanatkan untuk menghormati prinsip HAM.
Aturan itu tertuang dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Salah satu prinsip tersebut berkaitan dengan penghormatan atas hak-hak tanah warga.
Sehingga, dalam konteks kasus Wadas seharusnya aparat mengedepankan dialog dibandingkan bersikap represif.
"IPW berpandangan bahwa Polri dapat melakukan pengamanan terkait proses pengukuran tersebut bila status tanah tersebut telah clear and clean dari sengketa dengan penduduk," kata Sugeng.
Pada saat konflik meledak, yang terjadi di Wadas pada Selasa, dan masih berlanjut hingga Rabu (9/2/2022), polisi menyatakan pengamanan dilakukan merujuk pada surat permintaan yang diajukan oleh Kementerian PURP dan ATR/BPN untuk membantu proses pengukuran.
Sugeng menilai, permintaan tersebut tak bisa menjadi dasar yang mengonfirmasi bahwa seluruh tanah yang hendak dilakukan pengukuran sudah jelas kepemilikannya.
"Pengukuran tanah oleh BPN adalah bagian dari proses pemberian hak atas tanah, artinya belum ada kepastian hak atas tanah diatas tanah yg diukur tersebut. Ini harus menjadi rujukan pihak pihak termasuk Polda Jateng," ucap Sugeng.
Di satu sisi, Pengamat Kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto, juga melihat bahwa pengerahan aparat di Wadas itu tak lepas dari perintah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) ke Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, agar Korps Bhayangkara mengawal proses investasi.
Kala itu, Jokowi bahkan meminta agar Kapolri tak segan mencopot Kapolda yang gagal atau tak mengawal investasi.
Menyikapi itu, Listyo bahkan sempat pernah mewanti-wanti tujuh Kapolda baru yang dilantik pada Desember 2021 lalu agar tak menghambat iklim investasi di Indonesia.
Dapat diasumsikan jika kepolisian mau tak mau harus bertindak secara intimidatif dalam rangka membantu investasi di Jawa Tengah.
Di mana, dalam hal ini adalah bagian dari pembangunan Bendungan.
"Asumsi-asumsi tentunya akan mengarah ke sana. Pembuktiannya, kita lihat apa yang dilakukan Presiden dan Kapolri usai insiden tadi (kemarin) pagi," kata Bambang.
Selain itu, kata Sugeng, Korps Bhayangkara harus memiliki pedoman yang jelas ketika menyikapi perintah Presiden agar polisi dapat mengawal investasi sehingga tak menimbulkan ketegangan.
Menurutnya, situasi aparat yang represif seperti masa orde baru dapat muncul kembali jika permintaan itu dimaknai setiap jajaran kepolisian di Indonesia tanpa ada landasan hukum yang jelas.
"Pernyataan Presiden tersebut membenturkan Polri dengan rakyat dan berpotensi menimbulkan korban pelanggaran HAM," ujar Sugeng.
"Presiden yang memerintahkan Polri mengawal Investasi tanpa adanya SOP yang diatur dalam Perkap atau Perpol yang mengatur ketentuan pengawalan investasi berlandaskan perlindungan HAM maka akan memunculkan kondisi represi pada rakyat persis zaman Orba dulu," imbuhnya.
Sebagai informasi, polemik pengamanan berlebihan polisi di Wadas masih mencuat hingga saat ini.
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, bahkan meminta maaf kepada warga Wadas apabila merasa tak nyaman dengan kehadiran polisi selama proses pengukuran.
Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko, mengatakan bahwa pemerintah akan mengevaluasi pengarahan aparat ke wilayah Wadas buntut situasi mencekam yang ditimbulkan.
"Semua akan dievaluasi. Terima kasih," ucap Moeldoko, lewat pesan singkat kepada media, Rabu (9/2/2022).
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan sejumlah elemen masyarakat sipil lain meminta agar polisi menarik pasukannya dari Wadas.
Menurutnya, sejumlah penangkapan oleh polisi dilakukan sewenang-wenang.
Kapolri, Jenderal Listyo Sigit, pun diminta agar memberi atensi terhadap perkara tersebut.
Banyak yang menilai, pengerahan pasukan tak sejalan dengan visi Listyo untuk menjadikan anggota Polri humanis dengan slogan PRESISI yang digaungkannya. [dhn]