WahanaNews.co | Kementerian Kesehatan(Kemenkes) memastikan
baru dapat membayar 38 persen tagihan klaim perawatan pasienCovid-19 dari rumah sakit tahun lalu yang mencapai Rp 22,08 triliun.
Direktur Layanan
Kesehatan Rujukan Kemenkes,
Rita Rogayah,
menjelaskan,
Rp 6,62
triliun dari tagihan itu telah ditransfer ke rumah sakit, dan sekitar Rp 1,5
triliun lainnya akan dikirim pada minggu ini.
Baca Juga:
Rp500 Juta Pengembalian Uang dari Tersangka Korupsi APD Kemenkes Diterima KPK
Ia mengatakan, keterlambatan pembayaran tersebut terjadi akibat
proses administrasi.
Pasalnya, sebelum dibayarkan, tunggakan harus diaudit
terlebih dahulu oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Belum lagi, sebagian
dari klaim triliunan itu mengalami dispute
atau ketidaksepakatan antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Kesehatan dengan rumah sakit.
Baca Juga:
Kemenkes Minta Masyarakat Waspadai DBD dan HFMD Selama Arus Mudik dan Balik Lebaran
Dispute
tersebut membuat Kemenkes harus kembali memverifikasi ke daerah dan BPJS
Kesehatan sebelum klaim diaudit BPKP dan diproses ke Kementerian Keuangan.
"Bagaimana pun, kalau semua dispute
ada di Kemenkes, pasti menyebabkan keterlambatan penyelesaian klaim," ucap
Rogayah, dalam konferensi pers virtual, Kamis (8/7/2021).
Selain dispute, lambannya pembayaran juga
disebabkan oleh kesalahan rumah sakit rujukan Covid-19 dalam mengunggah tagihan atau klaim ke
kementerian.
Hingga akhir 2020,
misalnya, total klaim tertunggak yang diterima pemerintah dan telah disetujui
hanya sebesar Rp
8,3 triliun.
Adapun pembengkakan
tagihan hingga Rp
22,08 triliun, kata Rogayah,
disebabkan terus masuknya klaim layanan Covid-19 tahun lalu hingga Mei 2021.
"Untuk 2020 ini
kami masih membayarkan bulan layanan di Maret, April, Juni. Tapi bulan-bulan
awal pandemi pun masih ada yang mengklaimnya di 2021," ujarnya.
Sekretaris Jenderal
Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Ichsan Hanafi, tak memungkiri masih banyak rumah sakit yang
terlambat mengunggah tagihan ke Kementerian
Kesehatan.
Sebab, tidak semua rumah sakit memiliki kemampuan sumber
daya, peralatan, hingga sistem yang sama.
Belum lagi, beberapa
rumah sakit menghadapi kendala sistem teknologi informasi dalam pengajuan klaim
biaya, sehingga tidak bisa memenuhi syarat dokumen dalam
waktu cepat.
"Apalagi dalam
kondisi Covid-19 rumah sakit kan kewalahan. Jumlah perawatnya tidak seberapa, pasiennya banyak.
Jadi untuk urus klaim, ya sangat mungkin tertunda-tunda turunnya," katanya, saat dihubungi wartawan, Kamis (8/7/2021).
Karena itulah, ia
menyarankan pemerintah memberikan uang muka (down payment/DP) sebesar 50 persen terlebih dahulu kepada rumah
sakit yang telah mengajukan klaim jika proses pencarian masih panjang.
Menurutnya, DP tersebut akan sangat bermanfaat membantu rumah
sakit membiayai kebutuhan operasional yang meningkat sering dengan melonjaknya
kasus Covid-19.
Terlebih sebagian besar
klaim yang ditunggak berasal dari rumah sakit swasta, yakni sekitar 800 dari
total 1.500-an rumah sakit rujukan Covid-19.
"Kalau bisa
pemerintah segera melakukan pembayaran untuk berkas yang sudah diverifikasi dan
mungkin diberikan DP dulu maksimal 50 persen. Karena aturannya kan juga sudah
ada. Untuk kondisi sekarang sebulan juga agak berat kalau tidak ada
pembayaran," terangnya.
Sementara itu, ketua
Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh Indonesia (Arsada) Kalimantan Barat, Yuliastuti Saripawan, menilai,
banyaknya dispute tak lepas dari
berubah-ubahnya pedoman tata laksana atau petunjuk teknis klaim penggantian
biaya pasien Covid-19
serta persyaratan yang terlalu banyak.
Ia berharap, pemerintah memberikan kelonggaran administrasi
pengajuan klaim di tengah kondisi darurat pandemi Covid-19 ini.
Sebab, Rumah Sakit
Umum Daerah
yang merupakan BLUD hanya bergantung pada pembayaran klaim oleh pemerintah
pusat untuk bisa terus memberikan pelayanan kepada pasien.
"Ini yang kami
harapkan. Mudah-mudahan kelonggaran administrasi. Toh, di situ ada pertanggungjawaban mutlak seorang direktur ketika
akan mengajukan pengklaiman itu," ucapnya.
Di samping itu, lanjut
Yuliastuti, rumah sakit daerah juga mendorong pemerintah untuk menyempurnakan
aplikasi E-Klaim VS serta meminimalisir gangguan sistem yang dapat menyebabkan
proses dispute berlarut-larut.
Ia menyebut, RSUD Soedarso Pontianak yang tempatnya bekerja, misalnya, baru bisa mengakses dokumen untuk dispute 2020.
"Itu ada 32 status
dari sekian status yang memang harus kami selesaikan. Kami memahami dengan
banyaknya rumah sakit yang dispute,
keterbatasan (sistem) itu yang jadi kendala. Harapannya, ada kecepatan dalam membuka aplikasi dispute, sehingga beberapa rumah sakit bisa menyelesaikannya
dengan cepat," pungkasnya. [qnt]