WahanaNews.co | Pembentukan tim penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu melalui jalur di luar pengadilan oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo dapat melanggengkan impunitas, kata aktivis Kamis (18/8/22).
Jokowi menyampaikan rencana pembentukan tim tersebut saat memberikan pidato kenegaraan sidang tahunan MPR/DPR pada Selasa, sehari sebelum perayaan Hari Kemerdekaan ke-77.
Baca Juga:
Kanwil Kemenkumham Sulteng Tingkatkan Kesadaran dan Cegah Perundungan Siswa Lewat Diseminasi HAM
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar penyelesaian non-yudisial tidak bisa me HAM masa lalu secara menyeluruh memberikan keadilan karena tidak ada proses akuntabilitas hukum lewat pengadilan.
"Dari draf Keppres yang beredar, tim ini sepertinya ingin melakukan bypass penyelesaian kasus ham semata-mata dengan santunan bagi korban," ujar Wahyudi.
"Padahal, jika tidak ada pengungkapan, ada potensi pengulangan kasus HAM," lanjut dia.
Baca Juga:
Hotman Paris Tantang Menteri HAM: Cukup Ponsel untuk Layani Rakyat, Bukan Rp 20 Triliun
Jokowi mengatakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terus menjadi perhatian serius pemerintah dan mengungkapkan bahwa RUU komisi kebenaran dan rekonsiliasi sedang dalam proses pembahasan.
”Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah saya tanda tangani,” ungkap Jokowi, Selasa.
Presiden menunjuk Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mohammad Mahfud MD menjadi ketua pengarah tim, dengan ketua pelaksananya Makarim Wibisono, diplomat yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk PBB.
"Jalur yudisial kan terus jalan. Jadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu harus ditempuh dengan dua jalan secara paralel, yaitu melalui yudisial dan melalui non-yudisial," tutur Mahfud.
Memperkuat impunitas
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan pembentukan tim ini hanya akan memutihkan pelanggaran masa lalu yang belum diselesaikan negara.
Dengan penyelesaian non-yudisial, menurut Hendardi, pemerintah mengingkari undang-undang tentang pengadilan hak asasi manusia, yang mengamanatkan bahwa penyelesaian pelanggaran yang terjadi sebelum tahun 2000 bisa diadili melalui pengadilan ad hoc.
"Alih-alih merangkai kepingan fakta dan informasi untuk mengakselerasi mekanisme yudisial yang selama ini menjadi perintah UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Jokowi justru menutup rapat tuntutan publik dan harapan korban akan kebenaran dan keadilan," ujar dia dalam siaran pers.
Koalisi Masyarakat Sipil, aliansi para korban pelanggaran HAM dan aktivis meminta Jokowi membatalkan keputusannya itu.
“Padahal ini hanya cara yang dipilih Pemerintah melayani para pelanggar HAM berat masa lalu agar terhindar dari mekanisme yudisial,” ujar dia.
"Presiden Joko Widodo seharusnya memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM dengan melakukan penyidikan secara transparan dan bertanggungjawab terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu,” ujar pernyataan mereka.
Anggota Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara mengatakan tim non-yudisial dibentuk untuk pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi dan kompensasi.
“Saya kira, keraguan para aktivis beralasan. Tinggal negara membuktikan dengan langkah-langkah nyata termasuk memaksimalkan mekanisme yudisial yang tersedia,” ujar dia.
Kasus HAM Papua
Organisasi hak asasi manusia dari AS, Human Rights Watch, pekan ini mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mencabut tuduhan makar terhadap para aktivis Papua dan membebaskan mereka yang ditahan atas demonstrasi damai di Papua dan Papua Barat.
“Pasukan keamanan Indonesia selama beberapa dekade telah secara rutin membuat penduduk asli Papua melakukan penangkapan dan kekerasan yang salah, namun tidak pernah diadili atas pelanggaran hak-hak ini,” kata Phil Robertson, wakil direktur Asia di Human Rights Watch.
“Pemerintah Indonesia harus berhenti melecehkan dan menangkap pengunjuk rasa damai Papua, dan segera membebaskan para aktivis yang melakukan protes secara damai menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi dan berkumpul.”
Menurut Human Rights Watch, situasi hak asasi manusia di Papua dan Papua Barat terus memburuk di tengah iklim meningkatnya pertempuran antara pemberontak pro-kemerdekaan Papua dan pasukan keamanan Indonesia.
Lebih dari satu tahun setelah ditangkap pada 9 Mei 2021 di Jayapura, Victor Yeimo, 39, juru bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), masih ditahan polisi, kata laporan itu.
Polisi menuduh Yeimo melakukan makar karena menyerukan referendum kemerdekaan selama protes anti-rasisme tahun 2019 yang berujung kerusuhan.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Theofransus Litaay, mengatakan penggunaan kekuatan yang berlebihan, pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan paksa, dan penyiksaan tidak memiliki tempat dalam masyarakat Indonesia.
“Pemerintah Indonesia secara mendalam menunjukkan segala upaya berdasarkan supremasi hukum dalam menangani kasus-kasus kekerasan dengan menekankan keadilan korban dan mengakhiri impunitas,” kata Theofransus.
“Banyak warga sipil tak berdosa, termasuk pekerja kesehatan dan pekerja konstruksi, menjadi korban ancaman dan kekerasan kelompok kriminal bersenjata,” kata Theofransus, menambahkan nasib dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua dan Papua Barat telah dan akan selalu menjadi prioritas utama pemerintah.
Terkait proses hukum terhadap para terdakwa kerusuhan di Papua, kata Theofransus, akan terus berjalan sesuai aturan hukum dan dalam koridor hukum dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Museum Peringatan Holocaust AS menyatakan dalam laporan yang dirilis bulan lalu bahwa pembunuhan besar-besaran terhadap warga sipil bisa terjadi di Papua dalam 12 hingga 18 bulan ke depan jika kondisi saat ini meningkat ke skenario terburuk.
Laporan yang ditulis oleh Made Supriatma, peneliti di Simon-Skjodt Center Early Warning ini menyebutkan bahwa meskipun kekerasan skala besar terhadap warga sipil tidak terjadi saat ini di wilayah Papua, tanda-tanda peringatan dini sudah terlihat dan perlu mendapat perhatian.
Menurut Made, ada beberapa faktor stuktural yang memengaruhi kondisi tersebut, termasuk sejarah panjang kekejaman massal, tidak dilibatkannya penduduk asli Papua dalam pengambilan keputusan politik dan konflik akibat eksploitasi sumber daya alam Papua.
Faktor lain adalah pasukan keamanan Indonesia di wilayah tersebut terlibat dalam pelanggaran hak asasi.[gab]