WahanaNews.co | Pengamat sekaligus akademisi FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta, Sri Yunanto mengapresiasi ketegasan Pemerintah Singapura yang telah menolak masuk Ustaz Abdul Somad (UAS).
Negeri Singa itu menganggap dakwah UAS menyebarkan paham ekstrem.
Baca Juga:
2 Orang Penyebar Berita Hoax Penangkapan UAS soal Rempang Ditangkap Polisi
Sri Yunanto menganggap penolakan terhadap UAS merupakan bagian dari hak kedaulatan Singapura guna melindungi eksistensi negaranya dari paham intoleransi dan radikalisme.
"Saya terus terang mengapresiasi apa yang dilakukan pemerintah Singapura. Dalam artian bahwa Singapura sudah mempunyai satu sikap yang sangat tegas terhadap paham-paham yang membahayakan persatuan dan kesatuan bagi bangsa mereka dan masyarakatnya," kata Sri Yunanto, Senin (23/5/2022).
Dalam kasus UAS, kata dia, masyarakat seharusnya juga menyadari bahwa di era digital seperti sekarang jejak digital bukan hal yang mudah dihilangkan, terlebih terkait pernyataan SARA dan ujaran kebencian terhadap kelompok lain. Singapura terlihat memiliki komitmen yang sangat besar menjaga pluralisme keberagaman bangsanya.
Baca Juga:
Ribuan Jamaah Antusias Hadiri Ceramah Ramadhan UAS di GOR Baturaja-Sumsel
"Walaupun kita mau bilang apa pun, tapi jejak digital itu nggak bisa dihilangkan. Jejak digital itu borderless, tidak ada batas. Singapura cukup berhati-hati terhadap segala macam ide-ide atau pikiran-pikiran dalam pemahaman UAS yang bisa membahayakan kesatuan Singapura seakan muncul gitu," kata Kelompok Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) periode 2010-2014 ini.
Sri Yunanto mengkritisi sebaran narasi yang mengaitkan dengan Islamophobia, kriminalisasi ulama hingga narasi Negara Kafir. Menurutnya, tudingan itu merupakan hal yang berlebihan dan tidak berdasar.
"Jadi itu bukan Islamophobia ataupun kriminalisasi ulama. Tetapi apa yang dilakukan Singapura ini adalah untuk me-warning bahwa jangan sampai agama itu dijadikan sumber terhadap perpecahan dan suku ataupun etnik yang dapat membahayakan kesatuan dan persatuan bagi warga di Singapura," katanya.
Ia menyayangkan sikap UAS dan berharap agar kejadian ini menjadi pelajaran yang dapat diambil semua pihak, khususnya tokoh agama, untuk dapat memberikan dakwah yang menyejukkan, mendamaikan, dan mempersatukan seluruh umat manusia.
Menurutnya, seseorang itu diterima dan ditolak masuk ke sebuah negara sesuatu hal yang wajar.
Namun masyarakat masih belum mampu menerima fakta di lapangan dan belum menyadari bahwa praktik penyebaran paham radikalisme dan intoleransi yang sudah sangat masif menjangkiti serta masuk ke semua lini kehidupan bermasyarakat.
"Masyarakat perlu disadarkan, disamakan persepsi bahwa semua agama tentunya mengajarkan perdamaian, kemudian antarpemeluk agama ini mempunyai satu sikap yang toleran dan menolak tafsir-tafsir dari agama yang radikal untuk tujuan-tujuan kekerasan seperti terorisme," kata Staf Ahli Menko Polhukam periode 2016-2019 ini.
Di samping itu, ia menilai pentingnya peran tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam hal ini meredam situasi di tengah masyarakat agar tidak berlarut hingga menimbulkan perpecahan.
Sri Yunanto berharap segenap tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk mampu menjernihkan melalui dakwah moderat.
Dalam kesempatan yang sama, Sri Yunanto juga melihat bahwa permasalahan UAS yang terjadi harus juga menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia untuk segera mendetailkan aturan-aturan dalam perpektif hukum agar penanganan radikalisme dapat dilakukan secara lebih masif.
Sri Yunanto kembali menegaskan bahwa dalam kasus UAS tidak ada unsur kriminalisasi terhadap ulama sebagaimana narasi yang tersebar.
Namun ia juga optimistis ketegangan ini bisa diperbaiki dengan komunikasi antara pihak UAS dan pemerintah Indonesia sendiri guna meluruskan isu-isu yang beredar. [rin]