WAHANANEWS.CO, Jakarta - Isu intoleransi kembali mencuat di Jawa Barat setelah pemerintah daerah Kabupaten Garut menutup paksa rumah doa umat Kristen di Kecamatan Caringin, disertai pengusiran rohaniawan Dani Natanael beserta anaknya yang masih duduk di kelas tiga sekolah dasar.
Kasus ini mendapat sorotan tajam dari aktivis intoleransi sekaligus pegiat media sosial Permadi Arya alias Abu Janda, yang mengecam tindakan tersebut sebagai bentuk nyata pelanggaran hak beribadah di Indonesia.
Baca Juga:
Tiga Tewas di Pesta Pernikahan Anak Dedi Mulyadi: Bocah, Lansia, dan Polisi Jadi Korban
Permadi mengunggah kecamannya di akun Instagram @permadiaktivis2 sambil membagikan tangkapan layar berita dengan judul "Rumah Doa Umat Kristen di Garut Ditutup Paksa, Rohaniawan dan Anaknya Diusir".
"Berita hari ini masih pantas kah kita merayakan kemerdekaan saat sebagian warga RI minoritas BELUM MERDEKA beribadah di bagian barat negeri ini?," tulisnya.
Ia turut menandai unggahan itu ke akun Presiden Prabowo, Gubernur Jawa Barat, dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo yang merupakan keponakan Prabowo, serta meminta warganet membantu membanjiri notifikasi akun Rahayu Saraswati di kolom komentar.
Baca Juga:
Pemkab Garut Batasi Operasional Truk Tambang demi Kurangi Kemacetan Akhir Pekan
Pendeta Gereja Beth-El Tabernakel, Yahya Sukma, menyatakan penutupan paksa terjadi sejak 2 Agustus 2025 dan menyebutnya sebagai pelanggaran HAM.
Menurut Yahya, selain penyegelan, pemerintah daerah juga mengusir Dani dan anaknya dari wilayah Caringin, memaksa mereka mengungsi ke Kabupaten Bandung.
Penutupan bermula saat petugas Kementerian Agama Jawa Barat hendak melakukan pendataan rumah doa yang SKTL-nya akan habis pada Februari 2026, namun sebelum itu, petugas KUA dan Forkopimcam Caringin membawa Dani ke hotel pada malam hari dengan alasan menghindari penyerangan.
Keesokan harinya, Dani diinterogasi di kantor desa dan dipaksa menandatangani surat pernyataan meninggalkan rumah doa serta berjanji tidak lagi beribadah di wilayah tersebut.
Berita acara kesepakatan pun dibuat, menyatakan penutupan permanen Rumah Doa Imanuel dan pelarangan seluruh kegiatan ibadah serta pembinaan iman umat Kristen, termasuk pembagian bantuan sosial.
Yahya mengungkap rumah doa itu telah berdiri sejak 2010 untuk melayani sekitar 100 umat Kristen di lima kecamatan Garut Selatan dan sebagian Cianjur, karena jarak gereja terdekat mencapai lebih dari 100 kilometer.
Kepala Badan Kesbangpol Garut, Nurrohdin, mengatakan penutupan dilakukan karena rumah doa tidak memiliki izin dan aktivitas dihentikan secara sukarela, sambil membantah ada paksaan.
Ia mengaku pemerintah juga mendata warga sekitar karena diduga ada perpindahan agama akibat pemberian sembako, namun hasil pengecekan tidak menemukan bukti perpindahan agama.
Humas Kementerian Agama Kabupaten Garut, Soni, menegaskan pihaknya mendorong mediasi dan mengimbau semua pihak menahan diri agar tidak memicu kegaduhan, serta mengedepankan edukasi moderasi dan kerukunan umat beragama.
Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) mengecam keras penutupan dan pengusiran tersebut, menyebutnya sebagai persekusi terhadap penginjil Dani Natanael dan pelanggaran konstitusi.
DPP GAMKI menegaskan rumah doa tidak wajib memiliki izin pendirian rumah ibadah permanen sesuai SKB 2 Menteri Tahun 2006, sehingga penutupan tidak memiliki dasar hukum yang sah.
Organisasi itu menuntut pemulihan segera kegiatan ibadah, perlindungan aparat terhadap hak konstitusional umat, serta penegakan aturan yang tidak tunduk pada tekanan kelompok intoleran.
GAMKI juga mengajak komunitas lintas iman, organisasi masyarakat sipil, media, dan warga negara menjaga kebebasan beragama dan menolak pembungkaman ibadah atas dasar mayoritas-minoritas.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]