Kemudian hakim (22 orang), jaksa (10 orang),
polisi (2 orang), pengacara (12 orang), duta besar (4 orang), komisioner (7
orang), eselon I/II/III (230 orang), swasta (308 orang), korporasi (6 orang),
dan lainnya (157 orang).
Selain aktor yang meluas, korupsi selepas Orde
Baru juga beragam.
Baca Juga:
Batara Ningrat Simatupang, Pendekar Ekonomi yang Tak Henti Mengais Ilmu
Seperti pengadaan barang jasa (236 kasus),
perizinan (23 kasus), penyuapan (739 kasus), pungutan/pemerasan (26 kasus),
penyalahgunaan anggaran (50 kasus), TPPU (38 kasus), hingga merintangi proses
penyidikan (10 kasus).
Dari Sentralistik ke Desentralisasi
Baca Juga:
Sederet Kebijakan Rizal Ramli untuk RI yang Patut Diapresiasi
Koordinator Indonesia Corruption Watch
(ICW), Adnan Topan Husodo, mengatakan, meluasnya aktor yang melakukan korupsi
dan sumber korupsi di Indonesia tak lepas dari sistem pemerintahan yang
berganti dari sentralisasi menjadi desentralisasi.
Pada era Orde Baru, kata Adnan, kekuasaan
terpusat, sehingga karakteristik korupsi yang seringkali dilakukan adalah
membuat peraturan atau kebijakan negara yang tujuannya menguntungkan penguasa
ataupun orang terdekatnya.
"Dulu, Soeharto buat yayasan, yaitu lewat
Keppres, padahal yayasan itu tidak jelas eksistensi, apakah itu milik negara,
apa milik swasta, pada waktu itu ya dianggap milik Soeharto. Padahal, yayasan
itu nanti mengelola anggaran dari APBN, BUMN," kata Adnan kepada wartawan,
Selasa (8/6/2021).