WahanaNews.co | Dosen Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pencabutan TAP MPRS No. 33/1967 telah mencerminkan permintaan maaf kepada Proklamator Sukarno.
Feri mengatakan meski tidak ada kata-kata maaf yang diucapkan secara eksplisit, namun pernyataan Jokowi yang menyebut Sukarno merupakan sosok yang setia dan tidak mengkhianati negara merupakan bentuk permintaan maaf bangsa Indonesia.
Baca Juga:
Gelar Naker Expo, Kemnaker Sediakan Puluhan Ribu Lowongan Pekerjaan di Tiga Kota
"Kalau mau dikatakan minta maaf, dengan sudah dikatakan sebagai Presiden Jokowi itu produk hukum yang coba menyudutkan Presiden Sukarno dan menyatakan bahwa bapak bangsa yang tidak pernah melakukan pengkhianatan pada negara, itu sudah sangat relevan dan cukup," kata Feri di CNN Indonesia TV, Kamis (10/11) malam.
Feri mengungkapkan meski kurang frasa maaf diucapkan secara eksplisit, menurutnya akan sulit untuk mengulang pidato yang sama tanpa terjadi multitafsir. Untuk itu, dia menilai pernyataan Jokowi perlu diapresiasi meskipun terhitung terlambat.
"Kalau mau pakai ewuh-pakewuh Jawa, pidato (Jokowi) itu sudah bagian dari permintaan maaf bangsa ini. Soal cukup enggak cukup, ini akan sangat panjang, tapi pidato kemarin itu bagi saya sudah sebagai permintaan maaf, ya walaupun tidak eksplisit," jelasnya.
Baca Juga:
Sudinkes Jakarta Barat Ingatkan Rumah Sakit Terus Terapkan Pelayanan Berbasis Hospitality
Lebih lanjut, Feri memaparkan Jokowi sebagai kepala negara akan sulit untuk mengulang pidato yang sama. Terlebih, menurutnya masih ada waktu lebih tepat untuk mengungkapkan permintaan maaf dalam kondisi yang lebih baik.
"Mungkin akan dicari waktu yang tepat, mungkin 17 Agustus atau 10 November sebagai bagian dari ini adalah permintaan maaf mewakili seluruh anak bangsa Indonesia sebagai kepala negara pemerintahan," ujarnya.
"Agar tidak ada sekat-sekat yang tersisa bahwa penghormatan kita pada mereka begitu besar, karena tanpa mereka tentu tidak akan negara ini bisa merdeka," kata Feri.