WAHANANEWS.CO, Jakarta - MARTABAT Prabowo-Gibran menegaskan pentingnya seluruh pemerintah daerah bergerak cepat dan serius menangkap peluang besar ekonomi sirkular dari sektor daur ulang sampah plastik, menyusul temuan terbaru yang mengungkap potensi nilai ekonomi industri ini mencapai lebih dari Rp19 triliun per tahun.
Organisasi relawan nasional ini menilai bahwa temuan tersebut bukan sekadar data, tetapi momentum untuk memperkuat ekosistem pengelolaan sampah yang modern, berkelanjutan, dan bernilai tinggi bagi masyarakat.
Baca Juga:
Investasi Masa Depan, MARTABAT Prabowo-Gibran Dorong Masyarakat Ubah Sampah Jadi Tabungan Emas Lewat Pegadaian
Ketua Umum MARTABAT Prabowo-Gibran, KRT Tohom Purba, menyampaikan bahwa peluang tersebut dapat menjadi pendorong ekonomi daerah dan membuka lapangan kerja baru jika pemerintah daerah berani melakukan inovasi dan memperkuat kolaborasi lintas sektor.
“Angka Rp19 triliun itu bukan angka kecil. Itu bukti bahwa sampah plastik bukan lagi beban, melainkan komoditas bernilai tinggi jika dikelola dengan benar,” ujarnya.
Tohom menjelaskan bahwa daerah yang lamban merespons peluang ini akan tertinggal jauh, mengingat industri daur ulang kini bergerak cepat dan membutuhkan konektivitas pasokan yang stabil, tata kelola yang rapi, serta dukungan regulasi yang jelas.
Baca Juga:
MARTABAT Prabowo-Gibran Dorong Seluruh Pemerintah Desa Bentuk Tim Kreativitas ‘Olah Sampah Jadi Kerajinan Tangan’
Ia mengatakan bahwa pemda harus segera memperkuat sistem pemilahan sampah dari sumber, membuka ruang investasi untuk fasilitas daur ulang, serta memperluas edukasi publik.
“Bayangkan jika setiap daerah memiliki ekosistem daur ulang terintegrasi. Nilai ekonominya bukan hanya puluhan triliun, tapi bisa berlipat ganda,” kata Tohom.
Tohom yang juga Pengamat Energi dan Lingkungan menambahkan bahwa momentum ini sangat strategis untuk mempercepat transisi menuju ekonomi sirkular nasional.
Menurutnya, industri daur ulang tidak hanya berperan menyelesaikan persoalan sampah, tetapi juga mengurangi penggunaan resin plastik baru yang selama ini masih bergantung pada impor serta terpengaruh fluktuasi harga global.
“Jika kita serius, industri daur ulang ini menjadi instrumen kemandirian material nasional. Kita tidak sekadar menyelesaikan masalah lingkungan, tetapi membangun fondasi energi dan manufaktur yang lebih efisien,” jelasnya.
Lebih jauh, Tohom menilai bahwa data yang dihasilkan dari studi Recycling Rate Index (RRI) dapat menjadi dasar kuat bagi pemerintah daerah untuk merumuskan kebijakan berdasarkan bukti (evidence-based policy).
Ia menegaskan bahwa kualitas data adalah kunci agar semua kebijakan pengelolaan sampah tidak lagi terjebak pada asumsi atau pendekatan parsial.
“Data ini harus diterjemahkan menjadi blueprint pembangunan industri daur ulang daerah. Jangan hanya dipakai sebagai laporan seminar,” tegasnya.
Ia juga menyerukan agar produsen dan industri besar memperkuat tanggung jawab dalam skema Extended Producer Responsibility (EPR), karena keberhasilan daur ulang nasional tidak mungkin tercapai jika beban hanya dipikul pemerintah dan pelaku industri kecil.
“Produksi besar harus bertanggung jawab besar pula. Ini era kolaborasi, bukan era saling melempar tanggung jawab,” pungkas Tohom.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]