WahanaNews.co, Jakarta – Wakil Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Yorrys Raweyai, Arnod Sihite, menyambut baik Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 96/PUU-XXII/2024 terkait Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera).
Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) UU Tapera tidak lagi bersifat wajib, melainkan menggunakan kata “dapat”. Arnod menilai perubahan ini memberi kepastian hukum sekaligus fleksibilitas bagi pekerja penerima upah untuk memilih apakah ingin ikut Tapera atau tidak.
Baca Juga:
Prabowo Lantik Afriansyah Noor Jadi Wamenaker, Arnod Sihite: Keputusan Tepat untuk Dunia Ketenagakerjaan
“Selama ini pekerja diwajibkan menabung 2,5 persen dari gaji, sementara pengusaha juga terbebani 0,5 persen. Padahal manfaat Tapera hanya diperuntukkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan penghasilan di bawah Rp7 juta, dan untuk kepemilikan rumah pertama. Selain itu, imbal hasil tabungan di Tapera pun tidak jelas,” ujar Arnod kepada WahanaNews.co di Jakarta, Senin (29/9/2025).
Ket foto: Rapat Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) pembangunan rumah subsidi untuk buruh di Kantor Kementerian PKP, Jakarta Pusat, Kamis (10/04/2025), oleh Menteri PKP Maruarar Sirait bersama Menteri Ketenagakerjaan Yassierlil, disaksikan Kepala Staf Kepresidenan Mohammad Qodari, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dan Wakil Ketua Umum KSPSI Arnod Sihite (kanan). [WahanaNews.co/Ist]
Arnod Sihite yang juga Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Percetakan, Penerbitan dan Media Informasi (PPMI KSPSI), juga mengingatkan bahwa pemotongan 2,5 persen gaji pekerja akan berpengaruh langsung pada daya beli.
Baca Juga:
KSPSI Sambut Baik 5 Program Penyerapan Tenaga Kerja, Pemerintah Janjikan Jutaan Pekerjaan
“Kenaikan upah minimum rata-rata hanya 4–5 persen. Jika dipotong lagi 2,5 persen, tentu akan mengganggu daya beli pekerja dan keluarganya,” tegasnya.
Dengan adanya putusan MK, pekerja kini dapat memilih program perumahan sesuai kebutuhan, baik melalui Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan dari Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan, melalui Tapera (yang sudah menyalurkan subsidi FLPP kepada sekitar 2 juta pekerja formal), atau bahkan memilih untuk tidak ikut program rumah.
Meski demikian, Arnod menegaskan agar pemerintah tetap mendukung akses buruh terhadap rumah dengan kebijakan yang lebih berpihak, mulai dari penurunan bunga hingga relaksasi regulasi.
“Jika lewat MLT Perumahan, bunganya sebaiknya BI Rate +1 persen, bukan BI Rate +3 persen. Sementara bagi pekerja yang memilih Tapera dengan skema FLPP, bunganya idealnya ditekan menjadi 3 persen dari sebelumnya 5 persen,” ujar Arnod Sihite, yang juga anggota Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional.
Ket foto: Penandatanganan nota kesepahaman (MoU) pembangunan rumah subsidi untuk buruh dilakukan di Kantor Kementerian PKP, Jakarta Pusat, Kamis (10/04/2025), oleh Menteri PKP Maruarar Sirait bersama Menteri Ketenagakerjaan Yassierlil, disaksikan Kepala Staf Kepresidenan Mohammad Qodari, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dan Wakil Ketua Umum KSPSI Arnod Sihite (kanan). [WahanaNews.co/Ist]
Di sisi lain, Arnod juga menyinggung target ambisius pemerintah membangun 3 juta rumah per tahun. Ia menilai realisasi program tersebut masih jauh dari harapan karena keterbatasan anggaran di APBN 2025.
Saat ini, kuota rumah subsidi buruh memang sudah dinaikkan dari 20 ribu menjadi 50 ribu unit, namun KSPSI menilai angka itu belum cukup.
“Dengan target nasional 3 juta rumah per tahun, jatah buruh seharusnya bisa mencapai 100 ribu bukan hanya 50 ribu. Rumah layak adalah kebutuhan dasar pekerja. Pemerintah harus memastikan program ini benar-benar berpihak kepada buruh, bukan sekadar angka di atas kertas,” tegas Arnod.
Menurutnya, pembangunan rumah buruh juga harus memperhatikan lokasi agar tidak membebani pekerja dengan ongkos transportasi tinggi.
“Hunian subsidi untuk buruh harus dekat kawasan industri. Kalau dibangun jauh, justru membebani buruh dengan biaya hidup lebih besar,” tambahnya.
Arnod menekankan, program rumah untuk pekerja seharusnya tidak hanya menyasar buruh formal, melainkan juga buruh informal yang selama ini terpinggirkan.
“Kalau buruh formal dan informal bisa menjangkau program ini, dampaknya akan besar bagi kesejahteraan pekerja Indonesia,” pungkasnya.
Kebutuhan perumahan pekerja sendiri sangat besar, terlebih Indonesia sedang menghadapi bonus demografi. Oleh karena itu, pemerintah didesak untuk semakin mempermudah cicilan, menurunkan bunga, serta melonggarkan persyaratan agar semakin banyak buruh bisa segera memiliki rumah layak.
[Redaktur: Amanda Zubehor]