WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pemerintah daerah diimbau untuk memperketat pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal serta meningkatkan pelacakan terhadap produsen yang tidak mematuhi aturan.
Pengawasan menyeluruh hingga proses penindakan dianggap krusial guna menutup celah distribusi produk rokok ilegal yang kian marak di masyarakat.
Baca Juga:
Kementerian PPPA Tekankan Isu Gender Harus Masuk RPJMD 2025–2029
Hal ini disampaikan oleh Program Manager Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), Ni Made Shellasih, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (9/7/2025). "
Kami juga mendorong agar kebijakan standardisasi kemasan tetap dilanjutkan dan dijalankan dengan serius," tegasnya.
Shellasih menekankan bahwa masalah ini tak hanya berdampak pada aspek kesehatan publik, tetapi juga mengancam keberlangsungan sistem jaminan sosial nasional.
Baca Juga:
Survei: TNI dan Presiden Paling Dipercaya, Polri Diapresiasi soal Premanisme
IYCTC turut mendorong agar pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) dioptimalkan untuk mendanai kegiatan edukasi dan pengawasan.
Tujuannya agar kebijakan kemasan rokok standar tidak hanya berhenti sebagai wacana tanpa implementasi nyata.
IYCTC mencatat bahwa peningkatan rokok ilegal dipicu oleh persoalan struktural yang kompleks, termasuk lemahnya pengawasan dan ketidaktegasan dalam penegakan hukum.
Data CISDI mengungkapkan bahwa kota-kota besar seperti Surabaya (20,6%) dan Makassar (21,4%) mencatatkan tingkat peredaran rokok ilegal tertinggi.
Kedua kota itu dinilai memiliki kemudahan akses dari pelabuhan besar dan berada di dekat wilayah produksi tembakau, menjadikannya titik distribusi strategis.
"Sementara kota lain yang dekat wilayah produksi, tapi tidak jadi jalur distribusi utama, angkanya jauh lebih rendah. Jadi ini bukan soal harga atau bungkus, tapi soal distribusi dan kontrol suplai," ujar Ketua IYCTC, Manik Marganamahendra.
Ia juga menyebutkan bahwa lemahnya pengawasan terhadap pelaku usaha kecil dan mikro, serta tidak adanya pembatasan dalam kepemilikan mesin pelinting, turut menyumbang pada maraknya produksi ilegal.
Belum optimalnya sistem pelacakan distribusi membuat penanganan semakin sulit.
Survei CISDI juga mengungkap adanya produk ilegal yang telah meniru kemasan produk legal, termasuk mencantumkan peringatan kesehatan, menandakan skala produksi yang sudah besar dan rantai suplai yang tidak terkendali.
Kebijakan standarisasi kemasan yang digagas Kementerian Kesehatan bertujuan mengurangi daya tarik rokok, khususnya pada kelompok anak dan remaja.
Desain polos, penghilangan elemen visual merek, serta peringatan kesehatan mencolok menjadi pendekatannya.
Studi internasional menunjukkan hasil positif. Di Inggris, angka penawaran rokok ilegal menurun pasca kebijakan diterapkan.
Sementara di Australia, distribusi rokok ilegal tetap terkendali dan bahkan menurun beberapa minggu setelah kebijakan dilaksanakan.
"Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan sangat ditentukan oleh sistem pelaksanaannya. Bukan bentuk kemasannya," tambah Manik.
Sebagai catatan, Satpol PP DKI Jakarta bekerja sama dengan Kanwil Bea Cukai berhasil menyita sekitar satu juta batang rokok ilegal tahun lalu.
Operasi dilakukan di Jakarta Selatan, dengan temuan mencakup 200.000 batang di warung dan 800.000 batang lainnya di rumah kontrakan.
[Redaktur: Ajat Sudrajat]