WahanaNews.co, Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan keempat tentang Mahkamah Konstitusi (MK) tinggal selangkah lagi untuk dibawa ke Paripurna guna disahkan menjadi UU.
Panitia Kerja (Panja) RUU MK Komisi III DPR diam-diam menggelar rapat pengesahan tingkat satu dan menyepakati RUU tersebut dibawa ke tingkat dua untuk disahkan menjadi UU. Rapat kerja itu digelar di masa reses anggota dewan pada Senin (13/5) atau sehari jelang pembukaan masa sidang V.
Baca Juga:
PTUN Menangkan Anwar Usman, Waka Komisi III DPR RI: Putusan MKMK Cacat Hukum
Pada Desember 2023, DPR dan pemerintah menunda pengesahan RUU itu karena menuai penolakan sejumlah pihak. Penolakan salah satunya datang dari Menko Polhukam yang kala itu masih dipimpin Mahfud MD.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad kala itu menyampaikan seluruh fraksi di DPR menyepakati menunda RUU MK guna menghindari pemberitaan yang kurang baik mengenai isu ini. Ia juga menampik DPR bermaksud merugikan pihak tertentu melalui RUU tersebut.
"Nah, jadi untuk kemudian menghindarkan hal-hal seperti itu, teman-teman di fraksi kemudian meminta supaya ditunda dulu revisi UU MK untuk diparipurnakan," katanya.
Baca Juga:
PTUN Jakarta Kabulkan Gugatan Anwar Usman, Batalkan SK Jabatan Ketua MK Suhartoyo
Namun, pada hari terakhir masa reses kemarin, Menko Polhukam yang kini dijabat Hadi Tjahyanto telah menyetujui RUU tersebut untuk segera disahkan menjadi UU. Sejumlah anggota Komisi III DPR tak mengungkap tegas alasan mereka menggelar rapat di masa reses.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PAN, Syarifuddin Sudding mengklaim hanya menghadiri undangan rapat dari sekretariat dan pimpinan tanpa tahu alasan rapat digelar di masa reses.
"Saya enggak tahu ya, karena yang jelas saya dapat undangan menghadiri rapat dari pimpinan, ya, saya hadir," kata Sudding, Senin (13/5).
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Santoso juga tak mengungkap dengan tegas alasan pihaknya menggelar rapat pengambilan keputusan di masa reses. Dia hanya menyebut rapat digelar karena DPR akan segera memasuki masa sidang mulai besok.
"Hari ini reses selesai karena besok paripurna," katanya.
Sedikitnya ada empat poin krusial dalam RUU MK. Beberapa di antaranya seperti persyaratan batas usia minimal hakim konstitusi. Kedua, evaluasi hakim konstitusi. Ketiga, tentang unsur keanggotaan Majelis Kehormatan MK (MKMK). Dan keempat, penghapusan ketentuan peralihan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.
Melansir CNN yang menerima naskah terakhir hasil pengesahan tingkat satu RUU MK. Naskah tersebut telah dibenarkan anggota Komisi III DPR, Syarifuddin Sudding. Berikut beberapa poin perubahan dalam RUU tersebut.
Aturan pemberhentian hakim
Perubahan keempat RUU MK menghapus poin d pada Pasal 23 terkait aturan pemberhentian hakim. Poin itu semula menyebutkan hakim MK bisa diberhentikan salah satunya karena habis masa jabatan.
Namun, dalam RUU terbaru, sebab pemberhentian karena habis masa jabatan dihapus. Sebagai gantinya, DPR dan pemerintah menyepakati menambah Pasal 23A terkait evaluasi hakim.
Pada poin lain, pemerintah dan DPR dalam naskah terakhir RUU MK perubahan keempat juga mengubah aturan pemberhentian karena terlibat kasus pidana. Dalam naskah awal, hakim MK diberhentikan salah satunya karena dijatuhi pidana dengan ancaman hukuman penjara lima tahun.
Sementara, dalam naskah terbaru hakim MK bisa langsung diberhentikan jika telah dijatuhi pidana, tanpa mencantumkan syarat ancaman hukuman penjaranya.
Evaluasi hakim MK
Pemerintah dan DPR menyisipkan pasal tambahan, yakni Pasal 23A yang mengatur soal evaluasi hakim mahkamah. Pasal itu menyebutkan hakim mahkamah maksimal hanya bisa menjabat selama 10 tahun dan dievaluasi setiap lima tahun.
Dalam setiap lima tahun, hakim mahkamah wajib dikembalikan ke lembaga pengusul yakni Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.
"Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, setelah lima tahun menjabat wajib dikembalikan ke lembaga pengusul yang berwenang untuk mendapatkan persetujuan untuk melanjutkan jabatannya," demikian bunyi Ayat 2 Pasal 23A.
Nantinya, dalam kasus lembaga pengusul tidak menyetujui hakim melanjutkan jabatannya, lembaga pengusul harus mengajukan calon hakim baru. Ketentuan itu tertuang dalam ayat 4 pasal yang sama.
MKMK dari unsur DPR dan Presiden
Perubahan keempat RUU MK juga menambahkan perwakilan baru untuk anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Pada UU MK perubahan ketiga, MKMK berjumlah lima orang yang terdiri dari satu orang hakim MK, satu anggota praktisi hukum, dua anggota yang terdiri salah satu atau keduanya merupakan pakar hukum, dan satu orang tokoh masyarakat.
Sementara dalam naskah RUU MK perubahan keempat, DPR dan pemerintah menyepakati untuk mengubah unsur perwakilan anggota MKMK.
Meski masih berjumlah lima orang, anggota MKMK nanti akan terdiri dari satu hakim MK, satu anggota usulan MK, satu anggota usulan MA, satu anggota usulan DPR, dan satu anggota usulan Presiden.
Selain anggota MKMK yang merupakan hakim mahkamah, semua usulan anggota MKMK dari tiap unsur perwakilan seperti MA, DPR dan Presiden, harus berasal dari tokoh masyarakat dan akademisi. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 27A terkait kode etik dan pedoman perilaku hakim MK.
Masa jabatan hakim MK yang tengah menjabat
Poin terakhir perubahan keempat RUU MK yakni pada Pasal 87 mengatur soal masa jabatan hakim MK yang saat ini tengah menjabat. Hal itu berkaitan dengan aturan maksimal masa jabatan hakim 10 tahun.
Pasal itu menyebutkan hakim konstitusi yang telah menjabat selama lima tahun dan kurang dari 10 tahun hanya dapat melanjutkan masa jabatannya terhitung sejak tanggal penetapan dirinya sebagai hakim MK, dan dengan syarat disetujui lembaga pengusul.
Sementara, hakim MK yang telah menjabat lebih dari 10 tahun, akan berakhir masa jabatannya setelah berusia 70 tahun atau batas usia pensiun, jika mendapat persetujuan dari lembaga pengusul yang berwenang.
[Redaktur: Sobar Bahtiar]