WahanaNews.co, Jakarta - Terkait perkara yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan badan atau pejabat negara tak boleh mengajukan peninjauan kembali (PK).
Hal itu dinyatakan lewat putusan perkara nomor 24/PUU-XXII/2024 yang diajukan Rahmawati Salam. Pemohon ingin Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Baca Juga:
Permohonan PK Jessica Wongso Diproses PN Jakarta Pusat
Atas permohonan Rahmawati itu, MK mengabulkan sebagian. Dalam putusannya, MK memaknai pasal tersebut konstitusional, tetapi mengecualikan badan atau pejabat tata usaha negara (TUN) sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke MA atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 24/PUU-XXII/2024 dalam sidang yang digelar pada Rabu (20/3) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, seperti melansir CNN Indonesia.
Dengan demikian, MK memaknai Pasal 132 ayat (1) UU PTUN menjadi, "Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, kecuali oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara."
Baca Juga:
KPK Beberkan Alasan Periksa WN Jepang Dugaan Korupsi LNG
Dalam pertimbangannya, MK menilai tujuan pembentukan PTUN tidak hanya untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi juga untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Adapun pada umumnya, putusan PTUN dilaksanakan secara sukarela oleh badan atau pejabat TUN, mengingat badan atau pejabat TUN adalah organ negara yang harus patuh hukum, termasuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah inkrah.
"Sehingga, proses hukum terhadap keputusan atau tindakan badan atau pejabat TUN yang menjadi objek sengketa antara warga masyarakat dengan badan atau pejabat TUN dan badan atau pejabat TUN yang kalah, dalam batas penalaran yang wajar seharusnya menjadi berakhir atau selesai setelah diputus pada tingkat kasasi," kata Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah membacakan pertimbangan mahkamah.