WahanaNews.co | Kran ekspor benih bening
lobster (BBL) atau benur, yang dibuka ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dikomandoi Edhy
Prabowo, akan kembali ditutup seperti di era Menteri Susi Pudjiastuti.
Hal itu menjadi keputusan yang langsung diutarakan Menteri KKP saat ini, Sakti Wahyu
Trenggono.
Baca Juga:
Menteri PUPR: Pindah ke IKN Kalimantan Timur, Basuki Target Juli 2024
Rencana ini pun sontak menjadi sorotan, karena kebijakan soal ekspor benur itu dianggap selalu berubah-ubah dalam beberapa tahun terakhir.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman
dan Investasi (Kemenko
Marves), di bawah kendali Luhut Binsar Pandjaitan, mengakui bahwa pihaknya dahulu turut mendukung kebijakan ekspor benih lobster.
Hal itu dilakukan karena kebijakan tersebut diakui akan mampu mendorong budidaya
lobster dalam negeri.
Baca Juga:
Sepak Terjang Sahat Manaor Panggabean Sebelum Dilantik Jokowi Jadi Bos Karantina RI
Akan tetapi, setelah kasus suap ekspor benih lobster terkuak dan menyeret mantan Menteri KKP, Edhy Prabowo,
kementerian yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan itu pun mengakui telah banyak
persyaratan yang dilanggar.
Pelanggaran
persyaratan itu dinilainya justru turut membunuh
pembudidaya lokal.
Pernyataan tersebut diutarakan Deputi
Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves, Safri Burhanuddin, dalam konferensi pers
virtual, Selasa (9/3/2021).
"Kenapa dulu kami mendukung, karena waktu
itu disampaikan ada kriteria-kriteria untuk bisa ekspor. Misalnya, harus punya
budidaya, dan hasil budidayanya sebagian dia lepas liarkan. Nah, ternyata hasil survei kami, tidak seperti itu kenyataannya," kata Safri.
Akan tetapi, ia menuturkan bahwa kini
pihaknya mendukung penuh atas larangan ekspor benur yang telah ditetapkan
Menteri Trenggono, meski kebijakan tersebut masih bersifat sementara.
Hal itu mengingat bahwa
apabila kompetitor Indonesia diberi benih yang banyak, maka secara otomatis
mereka akan mengontrol pasar.
Oleh karena kondisi itu, menurutnya, ketika Indonesia telah berhasil melakukan budidaya dan ingin mengekspor
lobster hasil budidaya, Indonesia tidak lagi memiliki pasar tersebut.
"Ingat, yang makan lobster itu terbatas,
hanya di daerah tertentu dan di hari besar tertentu. Kita kan mau mengurangi
produksi kompetitor kita. Kalau kita bisa kurangi BBL kita dikirim, otomatis
kita bisa kontrol pasar," kata Safri.
Dalam hal ini, ia pun menyesalkan
kebijakan yang lalu, yang mana mengizinkan ekspor benur tersebut.
Safri mengaku dengan adanya persetujuan oleh
Menko Marves Luhut Binsar
Pandjaitan pun dilakukan atas kajian KKP, bahwa ekspor
dilakukan selama pelepasannya masih terkontrol.
"Beberapa persyaratan yang dilakukan,
hampir semuanya itu banyak yang dilanggar. Sehingga kita katakan, kalau begini
caranya memang kita membunuh pembudidaya kita karena kita utamakan ekspor BBL,"
kata Safri.
Ia juga menyampaikan bahwa Kemenko Marves kini telah mendukung penuh larangan ekspor benur.
Safri menegaskan, budidaya lobster
harus diperkuat guna memperkuat pasar ekspor lobster.
Ke depannya, pemerintah akan melakukan pengembangan lobster secara
terpusat, yakni di salah satu wilayah di Indonesia.
Hal itu guna menekan biaya
produksi dan mendorong daya saing hasil budidaya lobster lokal.
Safri menambahkan, untuk
melindungi sumber daya lobster Indonesia, kebijakan moratorium ekspor benur
bisa dilakukan sambil menunggu hasil budidaya yang dilakukan di dalam negeri.
Namun,
soal waktunya, Safri menilai kemungkinan butuh waktu satu hingga dua tahun
untuk bisa menghasilkan lobster budidaya yang siap diekspor, baru kemudian
dievaluasi kembali kebijakan terkait ekspor benur.
"Jadi kita perkuat mereka
(budidaya), kita kasih waktu mereka berkembang, kita lindungi dengan tidak
memberikan ekspor BBL sehingga waktu (lobster) besar, lawannya (kompetitor
Indonesia) lemah karena dia (kompetitor) tidak punya banyak stok," kata Safri. [qnt]