"Mereka memiliki pendekatan bisnis yang masuk
akal," kata sumber industri yang tidak berwenang untuk berbicara di depan
umum tentang para pendiri Sriwijaya.
Baca Juga:
Terkait Kasus Korupsi Tol MBZ, Kejagung Periksa Mantan Dirjen Perhubungan Darat
Mereka menggunakan model bisnis konservatif untuk memperoleh
pesawat tua dengan harga murah. Langkah itu dipilih daripada membeli pesawat
baru seperti yang dilakukan maskapai yang berkembang pesat, seperti Lion Air,
Grup AirAsia Malaysia Bhd dan VietJet Aviation JSC Vietnam.
Menurut situs web Planespotters.net, armada Sriwijaya dan
anak usaha regionalnya NAM Air, rata-rata berusia hampir 20 tahun. Artinya usia
pesawat mereka hampir tiga kali lebih tua daripada miliki Grup Lion Air.
Baca Juga:
PT Jakarta Propertindo Siap Uji Coba Jalur LRT Jakarta Fase 1B
Pesawat nahas yang jatuh dalam musibah Sriwijaya Air adalah
jenis Boeing 737-500. Penyedia data penerbangan Cirium mengatakan armada
tersebut adalah satu dari hanya 77 pesawat serupa yang tersisa yang masih
beroperasi di dunia. Operator lain yang saat ini mengoperasikan Boeing seri
serupa adalah termasuk maskapai seperti Nigeria Air Peace dan SCAT Airlines
dari Kazakhstan.
Dua mantan karyawan Sriwijaya mengatakan kepada Reuters
bahwa ada alasan strategis untuk mempertahankan pesawat seri lama karena biaya
akuisisi yang lebih murah.