WahanaNews.co | Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DKI Jakarta, Widyastuti, menyatakan, pihaknya telah melakukan tindak
lanjut terkait rekomendasi BPK atas pengadaan alat rapid test antigen Covid-19
di Ibu Kota.
Menurut dia, BPK menyatakan bahwa
tindak lanjut telah selesai dalam Forum Pembahasan Tindak Lanjut atas LKPD
Tahun Anggaran 2020.
Baca Juga:
Aktivis LSM Soroti Dugaan Korupsi di Sejumlah Intansi Pemkab Taput
"Seluruh proses pengadaan juga
telah sesuai dengan Peraturan Lembaga LKPP Nomor 13 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa dalam Penanganan Keadaan Darurat," kata
Widyastuti, dalam keterangan tertulis, Sabtu (7/8/2021).
Dia memandang, temuan BPK tersebut
disebabkan adanya perbedaan harga atas pengadaan rapid test antibodi.
Yakni, antara
merk Clungene yang dibeli pada Mei
2020 dari PT NPN dan pembelian pada Juni 2020 dari PT TKM.
Baca Juga:
Ternyata Ini yang Membuat Sandiaga Uno Gugat Indosat!
"Dalam proses pengadaan alat
rapid test antigen tersebut juga telah dilakukan negosiasi oleh PPK dengan
penyedia barang dan jasa, dan telah dituangkan dalam berita acara negosiasi
secara memadai," ucap Widyastuti.
Selain itu, dia juga menyebut, proses pengadaan barang dan jasa saat masa pandemi memiliki
kesulitan tersendiri.
Terlebih harganya beragam.
"Karena harga satuan yang sangat
beragam. Sementara itu, pengambilan keputusan harus cepat, karena terkait
dengan percepatan penanganan Covid-19. Tapi, yang perlu digarisbawahi adalahBPK
menyatakan tidak ada kerugian daerah atas pengadaan tersebut," kata
Widyastuti.
Temuan BPK
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) menemukan adanya pemborosan anggaran oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta
sebesar Rp 1.190.908.000 untuk pengadaan alat rapid test.
Bentuk pemborosan yang dimaksud, Dinas
Kesehatan melakukan pengadaan alat tes di dua perusahaan dengan merek yang
sama.
"Terdapat 2 penyedia jasa
pengadaan rapid test Covid-19 dengan merek yang sama serta dengan waktu yang
berdekatan namun dengan harga yang berbeda," demikian isi dari dokumen BPK
tentang laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan daerah tahun 2020, yang dikutip pada Kamis (5/8/2021).
Pengadaan pertama dimulai saat PT NPN
mengajukan surat penawaran berupa alat rapid test Covid-19 IgG/IgM rapid test cassete merek Clungene, pada 18 Mei 2020.
Dijelaskan, dalam satu kemasan, berisi
25 alat tes, harga setiap unit
alat tes senilai Rp 197.500.
Pada pengadaan ini, Dinkes kemudian
menandatangani kontrak kerja dengan nomor 18.2/PPKSKRT/DINKES/DKI/V/2020, untuk
pengadaan 50.000 unit alat tes, dengan total nilai Rp 9.875.000.000.
"Pekerjaan telah dinyatakan
selesai berdasarkan berita acara penyelesaian Nomor
12.4/BASTSKRT/DINKES/DKI/VI/2020 tanggal 12 Juni dengan pengadaan sejumlah
50.000 dengan harga per unit barang senilai Rp 197.500," tulis laporan BPK.
Kemudian, Dinkes kembali membeli alat
rapid test Covid-19 dengan merek yang sama, Clungene, melalui PT TKM.
Sama seperti PT NPN, satu kemasan
berisi 25 test cassete rapid test
Covid-19.
Pekerjaan dilaksanakan pada kontrak
kerja yang ditandatangani pada 2 Juni 2020 dengan nilai kontrak Rp 9.090.909.091.
Jenis kontrak adalah kontrak harga
satuan, dengan jangka waktu pelaksanaan kontrak selama 4 hari kerja terhitung
pada 2 Juni sampai dengan 5 Juni.
"Pekerjaan telah dinyatakan
selesai berdasarkan pada tanggal 5 Juni dengan jumlah pengadaan sebanyak 40.000
pieces dengan harga per unit barang
senilai Rp 227.272," demikian isi dokumen.
BPK kemudian meminta konfirmasi atas pengadaan
dua alat rapid test tersebut ke pihak Dinkes dan PT NPN.
Dari hasil konfirmasi, diketahui PT NPN hanya ditawarkan untuk melakukan pengadaan rapid
test sebanyak 50.000 pieces.
"PT NPN tidak mengetahui jika
terdapat pengadaan serupa dengan jumlah yang lain karena memang tidak
diberitahukan pihak Dinas Kesehatan," demikian penjelasannya.
"Jika PT NPN ditawarkan pengadaan
tersebut (40.000 pieces) lainnya maka
PT NPN akan bersedia dan sanggup untuk memenuhinya karena memang stok barang
tersebut tersedia," paparnya. [dhn]