WahanaNews.co | Presiden Joko Widodo perintahkan menteri merivisi aturan baru tentang Jaminan Hari Tua (JHT).
Aturan itu menuai banyak kritik terutama kalangan buruh.
Baca Juga:
Aturan Terbaru: Pencairan JHT Tak Perlu Tunggu hingga 56 Tahun
Pasalnya, dalam aturan baru, uang JHT baru bisa diambil pekerja di usia 56 tahun.
Tak seperti aturan sebelumnya ketika JHT bisa dicairkan ketika pegawai terkena PHK atau mengundurkan diri dari pekerjaan lama.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengaku bakal menjalankan perintah Jokowi untuk menyederhanakan aturan yang baru ia keluarkan itu.
Baca Juga:
Menaker: Pembayaran JHT Paling Lama 5 Hari
Sejumlah pengamat politik dan kebijakan publik menilai sikap itu bentuk dari perencanaan yang buruk dan koordinasi yang lemah di tubuh pemerintahan Jokowi.
Pengamat Politik Universitas Andalas, Asrinaldi salah satu yang beranggapan demikian.
"Faktanya, itu memang fakta yang tidak bisa kita nafikan bahwa ada persoalan dalam konteks komunikasi dan koordinasi terkait dengan kebijakan yang dibuat oleh Presiden, dalam hal ini pemerintahan Pak Jokowi," kata Asrinaldi, kemarin.
Asrinaldi menganggap kebijakan yang baru dikeluarkan lalu langsung dicabut bukan hasil kajian yang mendalam.
Dia juga menilai kebijakan semacam itu seperti trial and error. Ketika ada kritikan masif dari masyarakat, kebijakan tertentu kemudian dicabut. Dengan kata lain, tidak bersumber dari kajian yang matang.
"Kecenderungan kebijakan ini lebih kepada, kalau bahasa kita itu, lebih kepada trial and error. Kalau ada reaksi yang negatif kemudian bergejolak dengan masyarakat, kemudian diubah kembali," kata dia.
Senada, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menyebut masalah inkonsistensi kebijakan ini bukan kali pertama terjadi di era Jokowi.
Sejak dulu, kata dia, banyak kebijakan yang juga mengalami perubahan setelah mendapat tekanan publik, seperti misalnya aturan vaksinasi berbayar yang menjadi gratis, biaya PCR, hingga Minuman Beralkohol (Minol).
Trubus menyebutnya sebagai upaya cek ombak atau testing the water. Ketika ada kebijakan yang dikeluarkan berujung gelombang penolakan, maka akan langsung direvisi atau dicabut.
"Kalau kemudian masyarakatnya diam saja, [maka] mereka menggunakan buying time, ya ditetapkan jadi kebijakan," kata Trubus, kemarin.
"Itu semua menunjukkan bahwa pemerintah dalam membuat kebijakan itu perencanaannya relatif buruk. Karena tidak melalui perencanaan yang matang," sambungnya.
Lebih jauh, Trubus juga mengatakan bahwa koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi yang dilakukan pemerintah dalam membuat aturan tampak sangat minim. Hal itu terlihat dari kebijakan pemerintah yang cenderung menganut pendekatan top-down.
Pemerintah sebaiknya menerapkan sosialisasi yang matang bila ingin menetapkan kebijakan. Setidaknya, kata dia, dengan mengundang seluruh pihak terkait seperti publik itu sendiri.
"Harusnya ketika kebijakan itu mau diterapkan itu sudah disosialisasikan dulu. Sudah dilakukan istilahnya dialog publik dulu," ujarnya. [bay]