WAHANANEWS.CO, Jakarta - Gelombang kekerasan seksual yang mencuat dalam beberapa bulan terakhir menyisakan keprihatinan mendalam bagi publik Indonesia.
Ironisnya, pelaku-pelaku kejahatan ini justru berasal dari kalangan yang selama ini dianggap sebagai simbol perlindungan, kepercayaan, dan kemanusiaan.
Baca Juga:
Dikira Direkam, Dokter di Medan Ngamuk dan Aniaya Rekan Sejawatnya
Saat masyarakat berharap kepada mereka untuk menjadi panutan, sebagian dari mereka justru menyalahgunakan posisi dan kekuasaan yang dimiliki.
Di berbagai daerah, kasus kekerasan seksual terus bermunculan dengan pola yang mengkhawatirkan. Kejahatan ini tidak pandang usia, menimpa orang dewasa maupun anak-anak, bahkan dalam situasi yang seharusnya aman dan penuh perlindungan.
Yang lebih memilukan, banyak kasus terjadi dalam relasi yang sarat ketimpangan kekuasaan. Misalnya, kasus yang menyeret Kapolres Ngada, AKBP Fajar, yang dilaporkan melakukan pencabulan terhadap tiga anak di bawah umur di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Baca Juga:
Pakai Produk China, Busana Jubir Gedung Putih Karoline Leavitt Jadi Sorotan
Contoh lain yang tak kalah mengejutkan datang dari dunia akademik. Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Edy Meiyanto, dilaporkan terlibat dalam kekerasan seksual terhadap mahasiswinya sendiri.
Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi pengembangan intelektual dan karakter justru ternoda oleh penyalahgunaan otoritas akademik.
Situasi serupa juga terungkap di lingkungan pondok pesantren—yang dikenal sebagai lembaga pendidikan agama—hingga kasus paling anyar, yakni pemerkosaan yang dilakukan oleh seorang dokter peserta pendidikan spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, terhadap keluarga pasien.