Dia mencontohkan tender PPA (purchasing power agreement) dengan PLN bisa tiga tahun dan juga perizinan semua level juga lama.
“Pengembang tidak bisa bertahan dalam situasi seperti itu karena harus menanggung cost sampai 10-12 tahun, sementara pendapatannya baru muncul tahun ke-11, bahkan bisa tahun ke-14. Kalau bisa dikurangi empat sampai lima tahun, itu akan sangat membantu pengembang, sekaligus bisa menurunkan harga listrik dari panas bumi,” ucapnya.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Sementara itu Direktur Panas Bumi, Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Harris Yahya, mengatakan, ada enam poin yang bisa mempercepat pengembangan EBT di Indonesia, yakni Rancangan Perpres tentang harga EBT, Penerapan Permen ESDM tentang PLTS Atap, Mandatori bahan bakar nabati (BBN), pemberian insentif fiskal dan nonfiskal, kemudahan perizinan usaha, dan mendorong demand ke arah energi listrik.
Empat dari enam poin itu berada di wilayah pemerintah. Dua lainnya, yakni mandatori BBN ada di ranah produsen BBM, dan mendorong demand bergantung pada konsumen.
“Konsumen kita minta untuk menggunakan peralatan listrik seperti kendaraan listrik dan kompor listrik karena LPG pun masih kita impor, sampai 70 persen. Harga LPG ini juga rentan jika ada gangguan suplai seperti sekarang ini,” ucapnya.
Baca Juga:
PLN Siap Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2040 Lewat Kolaborasi Swasta
Saat ini, tingginya harga minyak mentah menunjukkan bahwa energi fosil sangat rentan terhadap krisis seperti perang di Ukraina. Apalagi jika yang terlibat krisis negara penghasil minyak atau gas.
Kenaikan harga yang tinggi juga pernah terjadi ketika Iran dan Nigeria dilanda krisis domestik dan perang.
“Harga minyak mentah sudah di atas 100 dolar AS per barel, harga batu bara sempat di atas 400 dolar AS per ton Maret lalu. Padahal, tahun lalu rata-rata harga batu bara masih di bawah 200 dolar AS,” ucapnya.