WahanaNews.co | Presiden Direktur PT KCIC, Dwiyana Slamet Riyadi, menyebut, proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) telah memberikan kontribusi bagi penerimaan negara, meski masih tahap pembangunan.
"Kontribusi KCJB untuk penerimaan negara sampai 31 Desember 2021 sudah mencapai Rp 5,34 triliun," kata Dwiyana, yang ditulis Kamis (10/2/2022).
Baca Juga:
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Ini Fakta-fakta Aktualnya
Ia merinci, Rp 3,73 triliun berupa penerimaan negara dari pajak seperti setoran kewajiban pajak, dan sisanya berupa penerimaan negara bukan pajak pembayaran penggantian PBB rumija sebesar Rp 16,9 miliar.
Kemudian, pembayaran sewa BMN untuk Stasiun Halim sampai 50 tahun ke depan sebesar Rp 1,16 triliun, pembayaran sewa rumija tol trase KCJB senilai Rp 436,8 miliar.
Menurutnya, kontribusi lainnya dari KCJB hingga saat ini yaitu adanya pertumbuhan ekonomi negara seperti yang tertuang dalam pre-assessment 2018-2019 yang dilakukan oleh Sucofindo sebagai Assessor.
Baca Juga:
Proyek Kereta Cepat, Tenaga Lokal Sudah Gantikan Tukang Las China
"Pertumbuhan ekonomi tersebut bersumber dari aktivitas local purchase yang mencapai 69,70 persen dari seluruh total belanja pengadaan yang dilakukan dalam proyek KCJB," paparnya.
Mengenai Penyertaan Modal Negara (PMN) yang diberikan pemerintah, kata Dwiyana, hal itu merupakan solusi yang diberikan negara berupa suntikan modal pada BUMN sponsor KCJB.
“Proyek KCJB, 75 persen dibiayai lewat pinjaman dari CDB, 25 persen dari ekuitas melalui PSBI 60 persen dan BUMN China 40 persen," katanya.
Akibat pandemi Covid-19, kata Dwiyana, empat BUMN sponsor Indonesia sampai dengan April 2021 belum bisa melakukan setoran modal secara penuh.
Hal itu membuat pemerintah memutuskan suntikan PMN kepada PT KAI yang kini menggantikan WIKA sebagai leading sponsor.
"Pada 31 Desember 2021, PT KAI telah melakukan setoran modal kepada KCIC lewat PT PSBI selaku konsorsium BUMN Indonesia untuk proyek KCJB,” ujar Dwiyana.
Suntikan PMN kepada PT KAI tersebut digunakan untuk berbagai kebutuhan yang bersifat urgen dalam upaya percepatan pelaksanaan proyek, seperti pembayaran sewa BMN Rumija Tol dan penggantian PBB Jasa Marga, biaya penyambungan UJL PLN.
Lalu, investasi untuk implementasi GSM-R, pembayaran progres pekerjaan kepada kontraktor dan konsultasi supervisi, asuransi, pajak, serta material offshore penting.
“Skema proyek tidak berubah. PMN digunakan lebih untuk kebutuhan setoran modal PT KAI ke PSBI, PSBI ke KCIC, jadi skema projectnya masih B2B tidak B2G,” papar Dwiyana.
Mengenai cost overrun atau kelebihan biaya, Dwiyana menyebut total cost overrun yang terjadi pada project KCJB masih dalam tahap review oleh BPKP.
“Berapa total cost overrun tersebut, belum dapat kami sampaikan karena sampai saat ini masih dalam tahap review oleh BPKP. Kami masih terus berproses menemukan biaya yang akan diefisiensikan,” ujarnya.
Untuk menutupi cost overrun, hingga saat ini pembiayaan cost overrun diambil dari ekuiti seperti yang tertera pada kesepakatan kedua pihak.
Namun pihaknya terus melakukan simulasi terkait pendanaan untuk diusulkan kepada shareholder. [dhn]