WahanaNews.co | Sejak awal 2022, sudah tiga kali anggota Dewan Perwakilan rakyat (DPR) mengusir pimpinan lembaga mitra kerjanya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai bahwa DPR seolah menunjukkan diri sebagai “bos besar” kepada mitra kerjanya.
Baca Juga:
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas Tegaskan Ibu Kota Negara Masih Jakarta
Peristiwa pengusiran pertama pada 2022 adalah ketika pimpinan Komnas Perempuan diusir oleh Komisi III DPR pada 13 Januari 2020.
Peristiwa kedua terjadi pada 17 Januari 2022 saat Komisi VIII DPR mengusir Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Harry Hikmat.
Peristiwa terbaru adalah diusirnya Direktur Utama Krakatau Steel (Persero) TBK Silmy Salim oleh Komisi VII DPR pada rapat kerja, Senin (14/2/2022) pagi.
Baca Juga:
Cerita di Depan DPR Tangis Ibu Korban Bully PPDS Undip Pecah
Menurut Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, sebagai lembaga terhormat, DPR jelas tidak menunjukkan sikap terhormat dengan mengusir mitra kerja.
Bahkan, menurut Lucius, pengusiran-pengusrian mitra kerja tersebut hanya sekadar drama, yang tidak memberikan pesan positif apa pun.
“Tidak ada pesan positif apa pun yang membanggakan,” kata Lucius Karus melalui video yang diterima, Senin (14/2/2022).
Menurut Lucius Karus, tindakan DPR mengusir mitra kerjanya justru cenderung melecehkan sendiri kehormatan lembaga parlemen.
Dari peristiwa pengusiran tersebut, publik dapat menganggap DPR hanya mendasarkan diri pada emosi tanpa melibatkan akal sehat dan nurani yang bening.
Lagi pula, dengan sikap tersebut, kata Lucius, tidak ada manfaat apa pun yang diberikan DPR kepada masyarakat.
Sebab, dengan pengusiran maka otomatis rapat terhenti dan tidak terjadi dialog.
“Orang terhormat mestinya lebih bijak mengambil tindakan. Kalau mengikuti emosi sesaat tidak akan ada perubahan yang bisa dipersembahkan kepada rakyat,” jelasnya.
Menurut Lucius, mitra kerja seharusnya diajak bicara secara baik-baik.
Sebab, dengan sebutan mitra kerja, maka DPR menganggap para pejabat dan lembaga yang diundang rapat adalah setara yaitu sebagai mitra dalam bekerja.
Karena itu, jika memang DPR menganggap dirinya lebih tinggi dbanding lembaga-lembaga lain yang diundang rapat, maka sebaiknya DPR mengganti istilah mitra kerja tersebut.
“Pakai istilah mitra tapi kelakuan yang mereka tunjukan macam bos besar di hadapan anak buahnya,” paparnya.
Mengenai kasus pengusiran teranyar di Komisi VII DPR, Lucius menyebut bahwa sikap Dirut Krakatau Steel kepada pimpinan Komisi VII cukup beralasan.
Sebab, tuduhan mengenai “maling teriak maling” memang merupakan suatu hal yang perlu diklarifikasi dan mendapatkan penjelasan. Karena itu cukup wajar jika Dirut Krakatau Steel bertanya.
Apalagi, menurut Lucius, pernyataan tersebut terkesan di luar konteks dan sudah bias.
“Jangan hanya karena merasa lebih tinggi, lebih terhormat DPR bisa nuduh sembarang saja kepada mitra kerja,” ucap Lucius. [rin]