WAHANANEWS.CO, Jakarta - Lebih dari Rp 100 juta bisa dibawa pulang anggota DPR setiap bulan, namun yang jadi sorotan publik justru tunjangan PPh 21 yang seolah membebaskan mereka dari pajak.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akhirnya buka suara meluruskan polemik ini.
Baca Juga:
Komisi VIII DPR RI Lanjutkan Pembahasan DIM RUU Haji dan Umrah 2025 Secara Tertutup
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Rosmauli, menegaskan pajak penghasilan anggota DPR maupun pejabat negara tetap disetor ke kas negara.
“Pajak penghasilan anggota DPR maupun pejabat negara tetap dibayarkan ke kas negara, tidak ada pembebasan pajak,” ujar Rosmauli pada Senin (25/8/2025).
Ia menjelaskan, yang membedakan hanyalah mekanisme pemungutannya.
Baca Juga:
Sri Mulyani Optimis Sinergi Pemerintah-DPR Wujudkan APBN 2026 yang Kredibel dan Berkelanjutan
Karena gaji dan tunjangan DPR bersumber dari APBN, maka kewajiban pajaknya langsung dihitung, dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh bendahara negara yakni Kementerian Keuangan.
Dengan skema ini, anggota DPR menerima penghasilan bersih sementara pajaknya sudah lebih dulu masuk ke negara.
“Skema ini tidak hanya berlaku bagi DPR, melainkan juga bagi seluruh pejabat negara, ASN, anggota TNI/Polri, dan hakim sesuai ketentuan yang berlaku,” jelas Rosmauli.
Ia menambahkan, pola serupa juga lazim di dunia swasta karena banyak perusahaan menanggung PPh karyawan agar pegawai menerima gaji bersih tanpa direpotkan administrasi pajak.
“Intinya, pajak tetap dibayar ke negara, hanya mekanisme pembebanannya yang berbeda demi kepastian dan kemudahan administrasi,” ucapnya.
Publik menyoroti adanya tunjangan PPh Pasal 21 yang diberikan kepada anggota DPR, karena komponen ini dianggap membuat legislator tidak menanggung pajak pribadi.
Besaran tunjangan tersebut mencapai Rp 2,69 juta per bulan, padahal tarif PPh 21 bersifat progresif sesuai UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Tarif dimulai dari 5 persen untuk penghasilan sampai Rp 60 juta per tahun hingga 15 persen untuk penghasilan Rp 60 juta–Rp 250 juta.
Pengaturan gaji dan tunjangan anggota DPR RI merujuk pada Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 serta Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015.
Berdasarkan PP Nomor 75 Tahun 2000, gaji pokok anggota DPR ditetapkan sebesar Rp 4,2 juta per bulan, Ketua DPR Rp 5,04 juta, dan Wakil Ketua Rp 4,62 juta.
Di luar gaji pokok, sederet tunjangan membuat total penghasilan atau take home pay anggota DPR bisa menembus lebih dari Rp 100 juta per bulan.
Berikut sejumlah tunjangan yang diterima anggota DPR RI:
Tunjangan Melekat
Tunjangan istri/suami: Rp 420.000
Tunjangan anak (maksimal 2 anak): Rp 168.000
Uang sidang/paket: Rp 2.000.000
Tunjangan jabatan: Rp 18.900.000 (ketua), Rp 15.600.000 (wakil ketua), Rp 9.700.000 (anggota)
Tunjangan beras: Rp 12.000.000
Tunjangan PPh Pasal 21: Rp 1.729.000 – Rp 2.699.813
Tunjangan Lain
Tunjangan kehormatan: Rp 6.690.000 (ketua), Rp 6.450.000 (wakil ketua), Rp 5.580.000 (anggota)
Tunjangan komunikasi: Rp 16.468.000 (ketua), Rp 16.009.000 (wakil ketua), Rp 15.554.000 (anggota)
Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran: Rp 5.250.000 (ketua), Rp 4.500.000 (wakil ketua), Rp 3.750.000 (anggota)
Bantuan listrik dan telepon: Rp 7.700.000
Asisten anggota: Rp 2.250.000
Tunjangan perumahan: Rp 50.000.000
Fasilitas kredit mobil: Rp 70.000.000 per periode
Biaya Perjalanan
Uang harian daerah tingkat I: Rp 5.000.000
Uang harian daerah tingkat II: Rp 4.000.000
Uang representasi daerah tingkat I: Rp 4.000.000
Uang representasi daerah tingkat II: Rp 3.000.000
Dengan komposisi di atas, seorang anggota DPR yang sudah berkeluarga dengan dua anak bisa membawa pulang penghasilan sekitar Rp 116,21 juta per bulan.
Jumlah tersebut belum termasuk fasilitas kredit mobil maupun biaya perjalanan dinas.
Tak heran jika angka fantastis ini memunculkan perdebatan, terutama soal keadilan di tengah kondisi ekonomi masyarakat luas.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]