WahanaNews.co, Jakarta - Universitas Paramadina mengadakan diskusi publik mengenai Literasi Media Berbasis Politik. Forum diskusi tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang strategi komunikasi dalam menangkal disinformasi, dan ujaran kebencian pada pemilu 2024 mendatang.
Forum yang diadakan di Aula Nurcholish Madjid tersebut bekerjasama dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), serta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan dihadiri oleh ratusan mahasiswa Ilmu Komunikasi se-Jabodetabek.
Baca Juga:
Buka Rakornas KPI dan Harsiarnas ke-91, Wapres: Pastikan Masukan dari Masyarakat atas Program Penyiaran Ditindaklanjuti
Forum di buka langsung oleh Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik Junaidi Rachbini, dan Dekan Fakultas Falsafah dan Peradaban Dr. Tatok Djoko Sudiarto.
Adapun narasumber sebagai berikut Erik Ardiyanto Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Yulianto Sudrajat Komisioner KPU RI, Agung Indra Kepala Biro Hukum dan Humas Bawaslu RI dan Tulus Santoso Komisioner KPI Pusat.
Dalam forum tersebut Komisioner KPU RI Yulianto Sudrajat mendorong mahasiswa untuk berpartisipasi aktif dalam pemilu serentak pada 2024 mendatang. Yulianto merefleksi tentang ujaran kebencian dan hoax yang terjadi pada pemilu 2019.
Baca Juga:
Kilang Pertamina Internasional Raih Sertifikasi AEO untuk Keamanan Rantai Pasok
"Saya memiliki catatan dalam pemilu sebelumnya jadi saya berharap kedepannya pemilu bisa berjalan lebih dewasa" Ujar Yulianto.
Dia menjelaskan bahwa dalam pemilu serentak 2024, KPU memiliki visi untuk mewujudkan pemilu yang adil untuk mensejahterakan rakyat dan menyatukan anak bangsa.
Menurutnya segmentasi konstituen di Indonesia hari ini mayoritas anak muda, sehingga peran pemilih muda menjadi sangat signifikan dalam pemilu yang dapat menentukan postur pemilihan nasional. Literasi media menjadi alat refleksi dan alat baca anak muda ketika melakukan kegiatan di media sosial.
Agung Indra Kepala Biro Hukum dan Humas Bawaslu RI memaparkan tentang cara mewujudkan media sosial yang humanis. Menurutnya minimnya literasi digital serta kurangnya pengetahuan hukum yang didapat merupakan faktor yang menyebabkan penyebaran disinformasi dan hate speech.
"Demi meminimalisir adanya pelanggaran dalam berkampanye atau berpendapat, maka BAWASLU mengawasi sosial media agar tidak adanya penyebaran hoax dan penyebaran SARA", ungkap Agung.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Bawaslu juga berkolaborasi dengan kemenkominfo untuk mengawasi website-website yang dianggap melanggar undang undang serta bekerjasama dengan masyarakat untuk menangani disinformasi dalam pemilu.
Narasumber yang ketiga Tulus Santoso Komisioner KPI pusat memaparkan tentang peran KPI dalam Pemilu. Ia menjelaskan bahwa Literasi Media merupakan cara menggunakan pemikiran nalar kritis dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan memproduksi untuk tujuan tertentu.
Menurutnya, saat ini tv dan radio jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya meskipun terkait dengan afiliasi politik.
Dia juga menjabarkan tentang Peraturan Perundang-undangan dan Pedoman pelaksanaan pemilu dan penyiaran di Indonesia juga terdapat tiga Upaya KPI dalam menangkal hoax pada pemilu 2024 yakni pengawasan isi siaran, literasi pemilu sehat dalam penyiaran serta koordinasi dengan gugus tugas.
Berbeda dengan beberapa narasumber yang lain. Erik Ardiyanto Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina menjabarkan lebih mendalam tentang strategi Komunikasi Politik menangkal disinformasi dan ujaran kebencian.
Menurutnya berbicara terkait demokrasi dan kepemiluan harus bisa menciptakan meritokrasi dimana setiap anak bangsa dari mana asalnya dan latar latar belakangnya berhak memilih dan dipilih dalam kontestasi tanpa adanya privilese atau Hak Istimewa. Dengan mengikuti peraturan yang berlaku bukan sebaliknya menerabas peraturan yang berlaku untuk berkuasa.
Disisi lain, kebebasan berbicara, berpendapat dan berserikat juga diatur didalamnyay memungkikan anak bangsa bisa mengekspresikan dirinya tanpa adanya intervensi.
Karena strategi komunikasi politik hidup dalam alam demokrasi yang sejatinya harus bisa menjadi alat penerang agar kebijakan - kebijakan pemerintah dapat dipahami di masyarakat tetapi disaat yang bersamaan dia bisa menjadi kritik ketika ada penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah karena dia juga berfungsi sebagai alat pembebasan.
Pada dasarnya disinformasi dan ujaran kebencian nyaris tak terhindarkan, terutama di musim pemilu seperti sekarang ini. Adalah tugas masyarakat sebagai pelaku, pengawas dan regulator politik serta media untuk bahu-membahu membentuk iklim komunikasi yang baik agar tercipta pemilu dan peradaban yang arif dan bijaksana. Sebab, pada dasarnya media, pelaku politik, dan masyarakat nyaris tidak dapat dipisahkan.
Masing-masing dari elemen tersebut akan saling mempengaruhi satu sama lain, dan pengaruh yang paling baik adalah literasi, meliterasi, dan terliterasi.
[Redaktur: Amanda Zubehor]