Pertama, kerugian rumah yang masing-masing mencapai Rp30 juta per rumah. Kedua, kerugian jembatan dengan masing-masing biaya pembangunan kembali jembatan mencapai Rp1 miliar.
Ketiga, kerugian pendapatan keluarga sesuai dengan pendapatan rata-rata harian masing-masing provinsi dikali dengan 20 hari kerja.
Baca Juga:
PLN Kerja Tanpa Jeda Pulihkan Listrik Sumbar di Tengah Medan Sulit
Keempat, kerugian lahan sawah dengan kehilangan mencapai Rp6.500 per kg dengan asumsi per Ha dapat menghasilkan 7 ton. Kelima, perbaikan jalan per 1000 meter mencapai Rp100 juta.
Sementara itu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai banjir besar dan longsor yang melanda Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh tidak hanya disebabkan oleh cuaca ekstrem semata, namun akibat masifnya alih fungsi lahan.
Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian menjelaskan dalam analisisnya, WALHI menemukan sejak 2016 hingga 2024, ketiga provinsi tersebut kehilangan sekitar 1,4 juta hektare hutan.
Baca Juga:
Curah Hujan “Hitam” dan Siklon Tropis, BMKG Terangkan Awal Bencana Sumatera
Sementara itu, terdapat 631 izin perusahaan yang beroperasi.
"Perusahaan-perusahaan ini bergerak di sektor tambang, lalu kemudian juga di sektor perkebunan monokultur sawit, PBPH atau Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan, dan industri-industri energi lainnya seperti PLTA dalam skala yang besar yang terjadi di Batang Toru dan wilayah lainnya," kata Uli saat dihubungi.
Menurutnya, kondisi ekologis di tiga provinsi itu sudah rentan. Kondisi itu membuat daya rusak bencana menjadi besar ketika terjadi cuaca ekstrem.