WahanaNews.co | Hasil pemodelan tsunami Selat Sunda menunjukkan bahwa pesisir
Jakarta, termasuk
Ancol, akan dijangkau gelombang tsunami jika terjadi
gempa dengan magnitudo 8,7.
"Hasil pemodelan menunjukkan
bahwa tsunami sampai di Pantai Jakarta dalam waktu sekitar 3 jam setelah gempa,
dengan tinggi 0,5 meter di Kapuk Muara - Kamal Muara dan 0,6 meter di Ancol -
Tanjung Priok," jelas Koordinator Bidang Mitigasi Gempa bumi dan Tsunami
BMKG, Daryono, dikutip Minggu (22/8/2021).
Baca Juga:
BMKG Wanti-wanti Suhu Panas Ekstrem, Ini Daerah Terparah
Pemodelan tsunami itu diukur dari muka
air laut rata-rata (mean sea level).
Dalam kasus terburuk, jika tsunami
terjadi saat pasang, maka tinggi tsunami dapat bertambah.
"Selain itu, ketinggian tsunami
juga dapat bertambah jika pesisir Jakarta sudah mengalami penurunan permukaan
(subsiden)," katanya.
Baca Juga:
Gubernur Kalteng Kirim Tim Tanggap Banjir untuk Bantu Korban di Murung Raya
Daryono juga mengingatkan bahwa
tsunami pernah menyapu Jakarta saat terjadi letusan Gunung Krakatau pada 27
Agustus 1883.
Ia mengatakan, erupsi
Krakatau di Selat Sunda, yang menyebabkan runtuhnya badan gunung, memicu
tsunami lebih dari 30 meter.
Dahsyatnya tsunami mampu menimbulkan
kerusakan di Pulau Onrust di Kepulauan Seribu.
Selain menerjang Pulau Onrust, tsunami
juga menerjang Pantai Batavia.
"Gambaran Pantai Batavia dan
Tanjung Priok yang dilanda tsunami saat itu sangat jelas dilaporkan Bataviaasch Handelsblad yang terbit pada
28 Agustus 1883," ungkap Daryono.
Tsunami dilaporkan membanjiri daratan
dan menghempaskan perahu-perahu di pantai.
Bencana ini juga menimbulkan kekacauan
di Pelabuhan Tanjung Priok, menenggelamkan dua buah kapal, dan merusak beberapa
jembatan dekat muara sungai di Batavia.
"Fakta tsunami 1883 menjadi dasar
bahwa tsunami dahsyat di Selat Sunda dapat berdampak hingga pantai
Jakarta," imbuh dia.
Adapun tsunami akibat erupsi Gunung
Anak Krakatau pada 2018 lalu tidak mencapai Jakarta karena lebih kecil
ketimbang pada 1883.
Meski demikian, Daryono
mengatakan bahwa pemodelan tsunami memiliki ketidakpastian yang sangat tinggi
karena persamaan pemodelan sangat sensitif dengan data dan sumber pembangkit
gempa yang digunakan.
"Bahkan jika sumber tsunaminya
digeser sedikit saja, maka hasilnya juga akan berbeda. Inilah sebabnya maka
selalu ada perbedaan hasil di antara pembuat model tsunami," beber dia.
Pekan ini,
diwartakan tentang hasil kajian Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung
(ITB) terkait potensi tsunami akibat gempa megathrust
di selatan Jawa yang berdampak hingga Jakarta.
Daryono mengatakan, riset semacam ini diperlukan sebagai acuan langkah mitigasi
tsunami.
"Masyarakat diimbau tidak perlu
panik karena kajian ini dibuat bukan untuk membuat masyarakat resah, tetapi
untuk menyiapkan strategi mitigasi yang tepat dan efektif guna mengurangi
risiko bencana yang mungkin terjadi," pungkas Daryono. [dhn]