Oleh A TERAS NARANG
Baca Juga:
Wakil Ketua Umum PAN Tolak Wacana Pemilihan Presiden Tidak Langsung
WACANA amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 kembali menguat.
Pernyataan ketua MPR soal amendemen dalam rangka penguatan kelembagaan dan mendorong Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) menjadi salah satu alasan yang dikemukakan.
Baca Juga:
Amien Rais Setuju UUD Diamendemen Lagi, Presiden Dipilih oleh MPR
Dalam waktu berdekatan, pertemuan para pimpinan parpol dengan Presiden Joko Widodo menambah hangat wacana ini.
Terlebih dengan kehadiran Partai Amanat Nasional dalam koalisi pemerintah yang membuat peluang amandemen kian terbuka lebar.
Kerisauan para tokoh politik dengan proses demokrasi pasca-Reformasi barangkali beralasan.
Terdegradasinya posisi dan kewenangan MPR dalam sistem pemerintahan serta hilangnya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menjadi pedoman pembangunan di masa lalu, memicu pertanyaan.
Tentang bagaimana negara ini dapat dibangun secara berkelanjutan meski terjadi perubahan kepemimpinan politik di republik.
Tentu sebagai sebuah alasan politik, setiap usulan dimungkinkan.
Sekalipun ada yang menyampaikan kritik bahwa langkah mendorong PPHN hanya akan melemahkan sistem presidensial dan menguatkan sistem parlementer.
Atau ada yang menyampaikan dalil hukum, PPHN sejatinya bisa diakomodasi dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Konsensus Politik
Tuntutan reformasi tahun 1998 sebagai momen disrupsi politik Tanah Air, memang mengubah banyak hal.
Kebebasan berdemokrasi semakin mengalir termasuk lewat hadirnya banyak parpol yang membentuk konstelasi baru di parlemen.
Hal ini tentu menambah energi dalam pengelolaan kebijakan negara yang dimainkan legislatif dan eksekutif.
Imbasnya kehadiran DPD yang merupakan mandat reformasi untuk memperkuat sistem dua kamar malah berujung samar.
DPR dengan warna politik yang ramai, menyulitkan pemerintah dalam mengambil banyak keputusan.
Sehingga dengan memberi porsi pada DPD, bagi sebagian kalangan dinilai akan tambah mempersulit pemerintah.
Keseimbangan konstelasi politik ini semakin menantang di era Reformasi.
Banyak energi dan harga yang harus dibayar untuk menghadirkan stabilitas politik.
Pada sisi lain, berkurangnya peran MPR serta tiadanya GBHN menimbulkan kesan, perjalanan negara akhirnya ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa.
Sehingga, konsekuensi buruknya, dapat membuat perjalanan negara ini tidak berkembang.
Ketika akhirnya PPHN dimunculkan sebagai alasan untuk menggelar amendemen kelima UUD NRI 1945, maka semua akhirnya bergantung konsensus politik dan merujuk konstitusi.
Sebagai sebuah produk hukum dan politik, itikad ini mungkin saja terjadi.
Terlebih konstitusi kita memberi ruang terbuka (open legal policy) untuk amendemen.
Libatkan Rakyat
Merujuk pada iktikad politik tersebut, perlu dipahami bahwa UUD NRI 1945 dalam Pasal 2 ayat (1) menekankan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD.
Hal ini untuk mengingatkan bahwa MPR terdiri dari representasi rakyat yang diwakili oleh anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.
Peran anggota MPR dalam wacana amendemen ini, mesti dijadikan sebagai pendidikan politik penting dengan melibatkan rakyat di dalamnya.
Pelibatan rakyat lewat berbagai elemen masyarakat sipil ini penting, kendati MPR diberi kewenangan melakukan perubahan dan penetapan UUD, merujuk pada UUD NRI 1945 Pasal 3 ayat (1).
Ini penting, agar rakyat memahami tujuan besar dari wacana perubahan yang diusung kekuatan politik di parlemen.
Terkait perubahan ini, telah diatur mekanismenya di UUD NRI Pasal 37 ayat (1), di mana usulan mesti diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR.
Saat ini, jumlah anggota MPR secara kesuluruhan 711 orang, di mana 575 anggota berasal dari DPR (sembilan parpol) dan 136 anggota berasal dari DPD.
Jadi dengan angka ini, dibutuhkan setidaknya 237 suara untuk mengajukan usulan perubahan.
Selanjutnya, dalam pasal yang sama ayat (2) disebutkan mekanisme pengajuan tertulis atas usulan beserta alasan perubahan.
Dalam konteks ini, usulan soal PPHN maupun perubahan lain yang hendak diajukan mesti didasari alasan yang kuat dan jelas.
Dilanjutkan pada ayat (3), usulan perubahan UUD dalam sidang MPR RI mesti dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR.
Dalam konteks saat ini berarti harus dihadiri oleh setidaknya 474 anggota.
Dalam kondisi pandemi, pemahaman kehadiran ini menjadi menarik untuk didiskusikan terpisah.
Pada Pasal 4, dalam rangka pengambilan keputusan atas usulan perubahan, maka setidaknya harus disetujui 50 persen ditambah satu dari jumlah seluruh anggota MPR.
Artinya, dengan jumlah anggota MPR sebanyak 711, maka dibutuhkan persetujuan setidaknya oleh 356 atau 357 orang anggota.
Mekanisme perubahan ini jelas diatur dan memungkinkan bila wacana amendemen memang hendak dilakukan.
Tentu perlu diingat, setiap usulan perubahan ini dimungkinkan sejauh tak mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ayat (5) dalam pasal terkait mekanisme perubahan ini mengunci iktikad semua pihak yang ingin mengubah bentuk negara (close legal theory).
Penataan Kelembagaan
Seluruh proses ini patut dipahami oleh publik.
Termasuk patut melibatkan publik sebagai pemilik saham atas kepentingan republik.
Seluruh itikad baik yang mendorong perjalanan bangsa ini menjadi semakin maju, perlu didukung semua kalangan.
Tentu dengan mengedepankan prinsip kritis, konstruktif, konstitusional, dan kebersamaan.
Lebih dari itu, proses amendemen yang tak mudah ini mesti dilakukan dengan cermat, arif, dan bijaksana.
Sebab penguatan peran MPR untuk kepentingan kemajuan bangsa, sejatinya berarti berbicara tentang dua elemen kunci yakni DPR dan DPD.
Maka, perlu dipertimbangkan upaya amandemen ini sebagai langkah penataan kelembagaan seluruh elemen yang ada, sehingga sistem parlementer bikameral atau dua kamar semakin lebih baik, dan terwujud Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Penataan terhadap peran masing-masing entitas lembaga, perlu diberi ruang, mengingat langkah amendemen merupakan proses politik yang rumit, langka serta memiliki ongkos politik yang teramat mahal.
Pandemi ini memberi ruang untuk setiap elemen untuk melakukan evaluasi terpisah maupun bersama, untuk kemudian bermusyawarah dan bermufakat demi menghasilkan perubahan yang tepat.
Ini momen untuk perubahan bersama seluruh elemen bangsa.
Kepiawaian para tokoh politik dalam koalisi pemerintah yang hendak mengusung amendemen ini mesti diarahkan secara visioner demi kepentingan jangka panjang.
Mengutip harapan ketua MPR soal mimpi akan Indonesia dekade-dekade mendatang untuk generasi penerus.
Kepentingan Bersama
Sekadar hitungan sederhana.
Untuk sebuah usulan perubahan dibutuhkan dukungan 237 suara anggota di MPR.
Untuk membahas usulan dibutuhkan kehadiran 474 anggota.
Lalu untuk pengambilan keputusan perubahan dibutuhkan setidaknya 356 atau 357 suara.
Bila koalisi partai pendukung pemerintah bersepakat, mereka memiliki kekuatan 349 anggota di parlemen.
Bila digabungkan dengan kekuatan kursi PAN, maka kekuatan menjadi 393 suara.
Angka dukungan ini terbilang besar dan istimewa.
Secara hitungan di atas kertas, koalisi pemerintah tinggal butuh tiga suara lagi untuk dapat memenuhi syarat kuorum persidangan.
Baik dari representasi partai seperti PKS yang memiliki 50 kursi dan Partai Demokrat 54 kursi, maupun dari 136 anggota MPR yang berasal dari DPD.
Bila koalisi pemerintahan solid, maka untuk mendapat tambahan tiga suara, yang kemungkinan besar dari DPD, bukanlah perkara sulit.
Dalam pengalaman sebagai anggota MPR dan DPR serta kini sebagai anggota MPR dan DPD, tentu saja disadari bahwa politik itu cair.
Dukungan dalam sebuah keputusan politik besar seperti amendemen, tidak selalu tegak lurus seperti yang dikira.
Hal ini mengingat catatan di awal bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD yang tentu saja punya marwah serta kedaulatannya sendiri sebagai wakil rakyat.
Jadi bukan tidak mungkin ada anggota partai yang tak bersepakat, atau sebaliknya bukan tak mungkin anggota DPD justru bersepakat untuk mendorong amendemen.
Itu sebabnya saya mendorong, agar amendemen tidak dilakukan sepihak, apapun agendanya.
Tidak untuk kepentingan satu kelompok atau golongan semata, tidak pula untuk kepentingan sesaat.
Melainkan peran serta dan kepentingan seluruh pihak, terlebih rakyat Indonesia mesti terwakili dalam iktikad amendemen kali ini.
Untuk kebaikan bangsa dalam jangka panjang.
Itulah semangat gotong royong sebagai bangsa.
Cermin dari semangat Pancasila dalam demokrasi parlemen kita. (A Teras Narang, Anggota MPR/DPD RI Periode 2019-2024, Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia)-qnt
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Amandemen Kelima UUD NRI". Klik untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/09/06/amandemen-kelima-uud-nri/.