DEBAT final Calon Presiden (Capres) Pemilu 2024 menyuguhkan sebuah oase intelektual yang langka. Prabowo Subianto bersama Gibran Rakabuming Raka, mengurai sebuah permohonan maaf dengan nada yang mengandung keberanian moral yang jarang ditemui.
Dalam detik itu, tidak hanya sebuah permintaan maaf yang terucap, melainkan sebuah refleksi filosofis tentang esensi dari persaingan dalam demokrasi bahwa di balik debu pertempuran kata, harus ada semangat rekonsiliasi dan harmoni.
Baca Juga:
Dugaan Korupsi di Blok Rokan, Hinca Antar Berkas Rahasia ke Kejati Riau
Peristiwa tersebut bukanlah sekadar interlude dalam narasi politik; ini adalah manifesto yang menegaskan ulang bahwa politik, dalam esensinya, adalah tentang membangun jembatan, bukan mengokohkan tembok pemisah.
Ini adalah tentang menyadari bahwa dalam teater politik, aktor-aktornya harus memainkan peran mereka tidak hanya dengan kecerdasan strategis tapi juga dengan kebijaksanaan emosional.
Namun, ironisnya, dalam perjalanan kampanye yang sama, Prabowo juga dituduh sebagai sosok yang mengedepankan hiburan melalui "Joget Gemoy" daripada substansi politik.
Baca Juga:
Lolos ke Senayan di Pemilu 2024, Hinca Pandjaitan Sampaikan Terimakasih
Kritik ini, pada pandangan pertama, tampak sebagai penilaian yang sah dalam arena politik yang serius. Namun, jika kita menelisik lebih dalam, "Joget Gemoy" bukan semata tentang ritme dan langkah kaki, melainkan tentang meredefinisi kancah politik sebagai ruang yang juga dapat diisi dengan keceriaan dan kebersamaan.
Ini bukanlah penolakan terhadap debat substantif, melainkan penegasan bahwa politik juga membutuhkan sentuhan kemanusiaan dan kebudayaan. Dalam kritik yang sempit terhadap "Joget Gemoy", tersembunyi sebuah ketidakmampuan untuk memahami bahwa politik adalah seni sekaligus sains.
Seni dalam merayakan keberagaman ekspresi dan sains dalam merumuskan kebijakan yang efektif. Prabowo, dengan menggabungkan kedua unsur ini, sejatinya menawarkan sebuah eksperimentasi politik yang berani: bahwa pemimpin masa depan harus mampu berdialog tidak hanya melalui argumen, tapi juga melalui simbol-simbol budaya yang resonan dengan jiwa rakyat.
"Joget Gemoy" dalam konteks ini, menjadi semacam antitesis terhadap politik yang steril dan mekanis. Ini adalah pemberontakan terhadap tradisi politik yang kaku, sebuah ajakan untuk memandang politik tidak hanya sebagai pertarungan ideologis tapi juga sebagai pesta demokrasi yang meriah, di mana setiap warga negara diajak untuk menjadi bagian dari perayaan tersebut. Kritik terhadap Prabowo karena mengedepankan "Joget Gemoy" menunjukkan paradoks dalam pemahaman kita tentang politik.
Di satu sisi, kita mendambakan politik yang berwajah manusiawi, yang dekat dengan rakyat. Namun, di sisi lain, kita cepat untuk mengkritik ketika politik dihadirkan dalam format yang tidak konvensional. Ini bukanlah tentang memilih antara serius dan hiburan, melainkan tentang memahami bahwa keduanya bisa berjalan beriringan dalam menciptakan politik yang inklusif dan dinamis.
Saya ingin mengaitkan hal ini dengan tradisi atau budaya tarian tortor dalam suku Batak. Mengaitkan "Joget Gemoy" dengan tradisi tarian Tortor dalam budaya Batak membuka wawasan baru tentang bagaimana politik dan budaya dapat berjalan seiring. Dalam masyarakat Batak, Tortor bukan hanya sekedar tarian; ia adalah ekspresi kehidupan yang mendalam, yang merayakan momen-momen penting, dari kegembiraan pesta pernikahan hingga refleksi mendalam dalam upacara duka.
"Manortor" atau menari Tortor, adalah praktik yang mengakar kuat dalam tradisi Batak, menggambarkan bagaimana tarian bisa menjadi bahasa universal yang mengungkapkan spektrum emosi manusia, memperkuat ikatan sosial, dan merayakan keberagaman pengalaman hidup. Dalam konteks ini, pilihan Prabowo untuk mengadopsi "Joget Gemoy" dalam kampanyenya mendapatkan dimensi tambahan yang kaya.
Ini bukan hanya soal memilih sebuah metode kampanye yang meriah dan menarik, melainkan juga tentang menghormati dan merayakan keragaman budaya yang ada di Indonesia. Dengan memasukkan elemen tarian dalam kampanye politik, Prabowo tidak hanya berkomunikasi dalam bahasa politik yang konvensional, tetapi juga dalam bahasa budaya yang mendalam dan resonan dengan banyak orang Indonesia, mirip dengan bagaimana Tortor berbicara kepada hati orang Batak.
Mengkritik pendekatan ini tanpa mempertimbangkan konteks budaya yang lebih luas adalah mengabaikan warisan budaya yang kaya dan beragam dari Indonesia. Di banyak masyarakat di Indonesia, tarian lebih dari sekedar hiburan; ia adalah sarana komunikasi, ekspresi diri, dan pemersatu komunitas. Dengan demikian, memilih untuk "manortor" atau menari dalam konteks politik bukanlah sebuah kesalahan.
Sebaliknya, itu adalah pengakuan bahwa politik—seperti tarian—adalah tentang membuat koneksi, membangun jembatan antara individu dan komunitas, dan merayakan kemanusiaan kita yang bersama. Dalam spektrum politik, sering kali budaya tersingkirkan, seakan-akan ia merupakan sebuah afterthought, bukan prinsip dasar.
Namun, di dalam doktrin yang saya anut, "Budaya merupakan prasasti peradaban, politik hanyalah catatan kaki," terdapat sebuah pemahaman mendalam bahwa kekuatan sejati sebuah bangsa terletak pada kemampuan untuk mengangkat budaya sebagai esensi dari identitasnya.
Dalam konteks kampanye Pilpres 2024, saya, sebagai komponen dari mesin politik Prabowo, dengan sengaja memilih untuk menavigasi alur politik melalui arus budaya, khususnya melalui tarian Jaran Kepang yang saya rebranding menjadi Jarkep Gemoy Kawan Hinca. Ini bukan sekadar tarian; ini adalah manifesto, sebuah ekspresi dari visi kami yang mendalam tentang integrasi budaya dalam politik, yang saya bawa ke pelosok-pelosok Sumatera Utara, seraya menegaskan bahwa politik dan budaya bukanlah entitas yang terpisah, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama, yang dalam simbiosisnya, mengungkapkan harmoni autentik.
Pada momentum debat final Pilpres, ketika Prabowo menegaskan, "Budaya sangat penting, budaya adalah karakter bangsa. Tanpa kita membanggakan, menghormati, dan melestarikan budaya kita sendiri, kita hilang jati diri sebagai bangsa. Semua bidang harus kita bantu, kita lindungi," ini bukan sekadar retorika.
Ini adalah pengakuan tentang bagaimana budaya bukan hanya latar belakang yang estetis, melainkan fondasi yang menentukan kekokohan identitas bangsa. Keterlibatan Prabowo dalam "Joget Gemoy" bukanlah sebuah simpul politik yang kosong, melainkan sebuah pernyataan filosofis tentang pentingnya merayakan dan melestarikan budaya dalam setiap aspek kehidupan politik.
Prabowo, melalui tindakan dan kata-katanya, menawarkan diri bukan hanya sebagai calon presiden yang memahami ritme politik, tetapi juga sebagai pemimpin yang mengerti irama budaya, yang siap membangun bangsa ini dengan pondasi budaya yang kuat.
Pendekatan ini bukan hanya tentang merespons kebutuhan politik sesaat, melainkan tentang menanamkan sebuah visi jangka panjang di mana politik dan budaya bersinergi dalam menciptakan sebuah tapestri nasional yang kaya dan kompleks. Melalui integrasi tarian Jaran Kepang ke dalam kampanye politik di Sumatera Utara, saya tidak hanya berusaha mengkomunikasikan sebuah agenda politik, tetapi juga berusaha menyemai benih apresiasi terhadap budaya sebagai kekuatan pembeda yang mempersatukan kita.
Ini adalah upaya untuk mengingatkan kembali bahwa di hati politik yang sering kali pragmatis dan kalkulatif, harus ada ruang untuk keindahan, kegembiraan, dan perayaan budaya yang membebaskan kita dari batasan-batasan konvensional politik dan mengarahkan kita menuju pemahaman yang lebih luas tentang apa artinya menjadi sebuah bangsa. Dalam narasi yang lebih luas, "Joget Gemoy" dan permintaan maaf Prabowo di debat capres terakhir merupakan dua sisi dari koin yang sama: sebuah pesan tentang keberanian untuk berbeda dan tentang pentingnya menjaga kemanusiaan dalam politik.
Prabowo, melalui pendekatan ini, menantang kita untuk melihat politik bukan sebagai zero-sum game yang kaku dan tak kenal kompromi, melainkan sebagai sebuah perjalanan kolektif menuju pemahaman yang lebih dalam tentang apa artinya menjadi sebuah bangsa.
Jadi, daripada mengecilkan "Joget Gemoy" sebagai sebuah taktik kampanye yang dangkal, kita seharusnya melihatnya sebagai simbol dari upaya untuk mengembalikan politik kepada esensinya yang paling murni: sebagai sarana untuk menyatukan, bukan memecah belah; untuk merayakan, bukan hanya untuk berdebat; untuk mengingat bahwa di balik setiap strategi politik, ada hati dan jiwa rakyat yang harus kita jaga bersama.
"Sebuah negara besar dibangun tidak hanya dengan debat dan diskursus, tapi juga dengan seni dan budaya yang menyatukan hati rakyatnya."
Hinca Pandjaitan - Komandan Tim Echo Prabowo-Gibran