WAHANANEWS.CO – Polemik bantuan asing sampai hari ini menjadi pembicaraan hangat di kalangan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD-Aceh], Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan Sumatera Barat (Sumbar), khususnya mereka yang mengalami kejadian bencana banjir bandang dan mendapat pukulan telak gelondongan kayu yang maha besar dan banyak sekali.
Pernyataan Presiden Prabowo yang menyatakan tidak membutuhkan bantuan asing sungguh menjadi pemicu semakin menurunnya kepercayaan masyarakat pada pemerintahnya.
Baca Juga:
Bantuan UEA Dikembalikan Bobby: Lapor ke Pemerintah Pusat Dulu
“Kita sanggup menyelesaikannya dengan kemampuan sendiri. Tetapi tentu tidak bisa simsalabim. Karena saya tidak mempunyai tongkat nabi Musa,” kata Prabowo.
Apa kata mereka yang di media sosial warung kopi, Presiden Prabowo memang tidak punya tongkat Nabi Musa, tetapi punya tongkat komando, yang dapat mengarahkan tongkat komando itu keseluruh penjuru angin. Dan dapat dipastikan yang mendapat bidikan tongkat Komando Presiden pasti terkencing-kencing melaksanakan apa yang diperintahkan.
Dalam hati saya, betul juga obrolan di warung kopi itu. Saya berpikir, masyarakat kita ini sebenarnya pintar, dan bernalar tajam. Pemimpinnya saja yang tidak menyadari bahwa rakyatnya sudah sangat pintar beranalisa, apalagi di media sosial internet (medsosnet)
Baca Juga:
Antar Logistik ke Lokasi Bencana Aceh, TNI AU Kerahkan Pesawat A400M
Rasa tidak puas, frustasi, pasrah dan kecewa berat masyarakat atas bantuan pemerintah yang mereka rasa berjalan lambat, tentu harus direspons oleh pemerintah dengan quick response.
Dalam situasi seperti ini, pemerintah dalam memberikan informasi tentang apa yang sudah dilakukan harus berhati-hati.
Apakah data yang disampaikan dengan sekian puluh helicopter, hercules dan pasukan yang dimobilisasi menuju area bencana sanggup menyelamatkan mereka yang terisolir, kelaparan, kedinginan, dan tidak ada air bersih dan sanitasi. Secara jujur belum terjangkau. Kenapa itu bisa terjadi mungkin Istana hanya merekap apa yang dilaporkan para menterinya.
Kerusakan yang parah, terutama di kawasan hutan yang sudah gundul, dengan ribuan ton kayu gelondongan menghantam pemukiman, seharusnya pemerintah dengan cepat mengejar para deforesters itu, digebukin dan disuruh segera mengeluarkan dananya untuk menggerakkan helikopter swasta , peralatan – peralatan untuk evakuasi, dan yang menjadi korban diberikan santunan yang signifikan untuk biaya hidup mereka, dan menyiapkan pengungsian yang layak. Seharusnya tongkat Komando Presiden diarahkan ke para itu yang datanya ada di Kementerian Kehutanan.
Sikap Presiden Prabowo yang menolak bantuan asing dan mengandalkan kekuatan pemerintah dan Militer, memang terkesan militant dan gagah berani. Tetapi kalaulah puluhan ribu Militer dikerahkan, puluhan hercules dan helikopter dikerahkan, kalau dukungan dananya seret, ya dari gercep (gerakan cepat) menjadi gerlet (gerakan letoi).
Pemerintah pasti tidak mengakui itu. Menkeu alokasikan Rp60 Triliun, kapan keluarnya? Belum kita dengar. Mengandalkan APBD provinsi; kabupaten; Kota, brankas kosong. Mereka sudah bangkrut. Kalau perusahaan pemerintah itu sudah jatuh pailit. Tetapi karena negara tidak mengenal bangkrut.
Tujuan gubernur, meminta status bencana nasional, sebenarnya sederhana saja. Pemerintah pusat melalui BNPB dapat segera dengan cepat mengeluarkan dana kontingensi (cadangan bencana alam) yang menurut UU 24/2007 Tentang Penanggulangan Bencana harus digelontorkan pemerintah atas perintah UU. Sangat Konstitusional. Proses bisa cepat dan harus cepat. Jika tidak, rakyat bisa menuntut pemerintahnya ke pengadilan.
Tetapi karena tidak diumumkannya bencana nasional, Pemerintah menegaskan bantuan pemerintah akan tetap mengalir, tetapi mengalirnya tidak bisa deras karena tidak diancam UU yang berlaku.
Kondisi selanjutnya di masa mendatang, jika mobilisasi tidak dengan dukungan finansial yang cepat, tepat, maka kualitas rakyat Aceh, Sumut dan Sumbar akan menurun tajam. Dampak yang jelas akan terjadi angka kemiskinan meningkat, angka pengangguran meningkat, konflik sosial bertambah dan yang berbahaya jika rasa nasionalisme mereka menurun dan dapat menggoyahkan bingkai NKRI.
Menolak bantuan asing dan implikasinya
Dalam suasana keterbatasan anggaran pemerintah, dan disisi lain kebutuhan hidup masyarakat korban bencana memerlukan kecepatan pertolongan untuk kebutuhan hidup layak dan itu diperintahkan oleh UU 24/2007, maka kebijakan pemerintah menolak bantuan asing sangat beresiko terhadap hubungan pemerintah pusat dan daerah. Apalagi Walikota Medan menolak bantuan beras 30 ton dari UEA AID, karena takut pada pemerintah pusat, tetapi Walikotanya di ‘maki-maki’ warganya merupakan suatu contoh konflik yang rawan. Demikian juga di Aceh ada bantuan dari masyarakat Aceh di Malaysia dipersoalkan, tapi Gubernur NAD, Mualem pasang badan. Akhirnya pemerintah pusat mengalah.
Banyak kalangan mempersoalkan penolakan itu. Karena sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berasaskan Pancasila, satu asas adalah Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Apakah kita ‘’adil dan beradab’ menolak bantuan kemanusiaan yang diberikan kepada masyarakat kita yang ditimpa musibah?
Karena itu sudah sikap Pemerintah menolak bantuan asing, tentu Presiden Subianto akan pasang badan sebagaimana pasang badan kasus Kereta Cepat Whoosh. Tetapi harus ada solusi penyelesaian yang mungkin dapat menenangkan perasaan masyarakat yaitu tangkap para deforesters suruh mereka membayar kerugian kepada rakyat langsung yang mendapatkan musibah terjangan air dan kayu gelondongan yang mereka tebang. Itu baru paten kata orang Medan.
Berikutnya adalah agar sikap pemerintah konsisten menolak bantuan asing, maka juga harus diimbangi sikap Presiden menolak meminjam dana asing untuk menutup defisit APBN. Karena meminjam dana asing dapat menjatuhkan harkat dan martabat kita sebagai bangsa. Kita bangsa yang kaya dengan harta karun yang melimpah ruah di perut bumi Indonesia.
Caranya bagaimana, biarlah Menkeu Purbaya memikirkannya. Supaya konsisten, pinjaman seharusnya juga no.
Cibubur, 23 Desember 2025
*) Pemerhati Kebijakan Publik/Dosen FISIP UNAS
[Editor: Hendrik Raseukiy]