2. Result-Oriented Government: Anggaran harus berbasis kinerja dan diukur dengan hasil nyata di lapangan.
3. Enterprising Government: Dana publik bisa dioptimalkan melalui proyek bernilai tambah, bukan hanya disimpan di bank.
Baca Juga:
Dana Rp14,6 Triliun Pemprov Jakarta Akan Digunakan Bayar Proyek Pembangunan Ibu Kota
4. Customer-Driven Government: Penggunaan dana diarahkan pada prioritas publik yang berdampak langsung pada kesejahteraan.
5. Decentralized Government: Memberikan otonomi anggaran kepada OPD agar penyerapan lebih cepat dan tidak tersentral di kas daerah.
Budaya Takut dan Ketidaksiapan Sistem
Baca Juga:
Sistem Transfer Baru Siap Diluncurkan, Purbaya: Pemda Tak Bisa Lagi Timbun Uang di Bank
Salah satu penyebab utama lambatnya serapan anggaran adalah budaya birokrasi yang takut salah — lebih memilih aman dengan menyimpan dana daripada mengambil risiko inovasi. Padahal, dalam kerangka entrepreneurial government, keberanian mengambil keputusan yang terukur justru menjadi indikator kematangan birokrasi. Selain itu, lemahnya koordinasi antar-OPD, sistem perencanaan yang kaku, dan mekanisme pengadaan yang tidak adaptif turut memperburuk situasi. Akibatnya, pemerintah daerah gagal menerjemahkan anggaran menjadi nilai pembangunan.
Transformasi ke Arah Birokrasi Wirausaha
Mengatasi persoalan ini memerlukan transformasi ke arah birokrasi wirausaha, yaitu birokrasi yang memiliki keberanian mengambil keputusan strategis, mengukur kinerja berbasis hasil dan dampak, memanfaatkan teknologi digital untuk real-time monitoring, serta memberikan insentif kinerja bagi ASN dan OPD berprestasi. Dengan demikian, setiap rupiah dari anggaran publik dapat menjadi 'modal kerja' untuk pembangunan daerah yang produktif dan berkelanjutan.