Oleh FIRMAN NOOR
Baca Juga:
Mabes Polri Gelar Upacara Sumpah Pemuda, Indeks Pembangunan Pemuda Harus Ditingkatkan
SAAT ditanya Najwa Shihab, apakah ada yang berbeda tatkala berada di podium juara namun tak ada Bendera Merah Putih, pahlawan bulutangkis Kevin Sanjaya yang ikut membawa kembali Piala Thomas ke pangkuan Ibu Pertiwi, menjawab, “Beda banget”.
Tampak ada rasa kehilangan.
Baca Juga:
Peringati Hari Sumpah Pemuda Ke-96, Danrem 182/JO Bacakan Amanat Menpora
Seorang Taufik Hidayat, pahlawan bulutangkis lainnya yang turut memenangi Piala Thomas 19 tahun lalu, juga melontarkan protes spontan atas kegagalan berkibarnya Sang Merah Putih.
Bagi mereka, bendera bukan sekadar selembar kain tanpa makna.
Mereka memaknai itu sebagai sebuah kebanggaan yang harus dibayar dengan keringat dan cucuran air mata.
Airmata yang ditunjukkan amat ekpresifnya oleh Susi Susanti saat meraih emas di Olimpiade Barcelona 1992.
Bendera memang bukan sekadar selembar kain tanpa makna, dia simbol negara.
Dia bagian dari penanda keberadaan sebuah bangsa yang memberikan identitas bagi warganya.
Bendera adalah media berkata-kata meski tak bersuara, yang menandai batas sebuah teritori, sebuah kedaulatan, sebuah cita-cita bersama, sebuah catatan penderitaan dan kegemilangan, sebuah sejarah, sebuah keluarga besar, sebuah nasion.
Bagi bangsa besar di dunia bendera merupakan sebuah kebanggaan yang harus ditunjukkan kepada mata dunia.
Itulah mengapa ada bendera di Bulan sana.
Dalam konteks Indonesia, peristiwa perobekan Bendera Triwarna dan pengerekan Bendera Dwiwarna 19 September 1945 merupakan kejadian dramatis sarat makna.
Layaknya penghancuran Penjara Bastille di Perancis, peristiwa di Hotel Yamato (sebelumnya bernama Hotel Oranje), merupakan simbolisasi kehendak rakyat kita untuk berdaulat, terbebas dari segenap bentuk penindasan dan ketidakadilan.
Jadi merdeka seutuhnya dan dihormati sejajar dengan bangsa lain.
Sedemikian penting bendera, dia selalu dibawa kemana-mana saat peristiwa menyejarah ada.
Dalam ruang-ruang diplomasi.
Dalam berbagai medan pertempuran heroik penuh darah.
Dalam setiap upacara mengenang siapa kita. Bendera bukan sekadar kain warna-warni dengan simbol-simbol.
Warna dan simbol-simbol dalam sebuah bendera bermakna dalam, yang mencerminkan ideologi, motivasi, ide-ide besar, raison d’etre, komitmen dan sebagainya.
Bagi bangsa kita bendera bermakna mulia yakni berani dan suci.
Para pendiri bangsa meninggalkan makna itu sebagai sebuah warisan yang didasari oleh sebuah kearifan.
Ada nilai-nilai mendalam termasuk soal kepahlawanan dan moralitas.
Bendera kita seolah ingin memotivasi menjadi beranilah, berbuatlah, berjuanglah, namun di saat yang sama berkata hilangkan segala sesuatu yang menjauhkan dari nilai-nilai kebersihan, kejernihan, kesucian.
Uniknya, kerap ada perasaan tersendiri saat menyaksikan sang Saka Merah Putih berkibar berkibar di langit diiringi lagi Indonesia raya di tempat-tempat yang tidak biasa.
Di negara tetangga hingga yang jauh di sana. Juga di wilayah-wilayah perbatasan yang paling tepi.
Perlu Pembuktian
Selain perlu pembuktian hal-hal esensial seperti pemenuhan dan peningkatan kesejahteraan, keterampilan, kecerdasan maupun keadilan, penguatan rasa kebangsaan di perbatasan, kita butuh juga simbol-simbol.
Bendera adalah satu di antaranya.
Ini kembali terkait dengan upaya menumbuhkan identitas bersama, memelihara semangat kedaulatan, dan mempertahankan rasa ke-kami-an sebagai bangsa yang bertanah air satu, dari Sabang sampai Merauke.
Namun, bendera bukanlah sebuah sesembahan.
Secara rasional dan keimanan memang tak ke sana arahnya.
Dan pemaknaan atasnya akhirnya juga tergantung sejauh mana dia dapat berarti dalam kehidupan keseharian rakyatnya.
Rasa kebanggaan dalam naungannya tergantung pula seberapa besar kita semua yang menghormatinya, bisa membuktikan makna berani dan suci itu.
Ini jelas akhirnya bukan sekadar kata-kata.
Bila kita gagal membuktikannya semua hanya berakhir pada sekadar simbol belaka.
Dengan kata lain, makna bendera bisa demikian tak berarti, jika kita ramai-ramai mengabaikannya.
Tantangan untuk bangsa kita ini adalah dapat memberikan tongkat estafet pemaknaan dan penghayatan yang sama dari satu generasi dan generasi akan bendera, Sang Merah Putih.
Tantangan itu harus dijawab oleh kita semua agar bendera di ruang-ruang kerja tidak lagi justru menjadi saksi bagi terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme.
Agar bendera di perbatasan tak menjadi saksi terjadinya pengerukan atau eksploitasi SDA bangsa kita demi kepentingan segelintir orang.
Agar bendera yang terjahit dalam seragam tak menjadi saksi penindasan dan penjajahan sesama anak bangsa.
Agar bendera di ruang-ruang kelas tak jadi saksi meredupnya kebanggaan sebagai orang Indonesia.
Agar bendera di manapun berada tetap jadi saksi tegaknya hakikat kebangsaan yang sesungguhnya.
Semoga… (Firman Noor, Kepala Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional - BRIN)-dhn
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Benderaku Hakikatku”. Klik untuk baca: Benderaku Hakikatku - Kompas.id.