Oleh AHMAD NAJIB BURHANI
Baca Juga:
Mabes Polri Gelar Upacara Sumpah Pemuda, Indeks Pembangunan Pemuda Harus Ditingkatkan
OKTOBER merupakan Bulan Bahasa dengan peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai tonggak yang menjadikan bangsa Indonesia menjunjung bahasa persatuan yang satu, bahasa Indonesia.
Peran bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa dan simbol persatuan tentu tak perlu diragukan.
Baca Juga:
Peringati Hari Sumpah Pemuda Ke-96, Danrem 182/JO Bacakan Amanat Menpora
Pertanyaannya justru adalah di mana letak dan fungsi bahasa daerah dalam penguatan nasionalisme?
Apa makna bahasa etnik dalam kaitannya dengan kebudayaan nasional?
Indonesia adalah negara yang multilingual dan multikultural.
Terdapat 746 bahasa etnik dari berbagai daerah di negeri ini, dari Sabang sampai Merauke.
Kekayaan ragam bahasa ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu laboratorium bahasa terbesar di dunia.
Seperti cukup sering ditulis, Papua menjadi daerah dengan jumlah suku dan bahasa terbanyak di Indonesia dengan sekitar 300 suku dan lebih dari 270 bahasa etnik.
Bahkan, Aceh, yang kadang dipandang memiliki identitas homogen, pada kenyataannya memiliki keberagaman, yaitu sembilan suku dan bahasa.
Aceh tentu saja merupakan suku dan bahasa yang terbesar, kemudian disusul oleh suku dan bahasa Gayo.
Bahasa dan budaya lainnya adalah Tamiang, Alas, Aneuk Jamee, Kluet, Singkil, Defayan, dan Sigulai.
Ini belum termasuk ragam dialek, seperti antara Aceh Pidie dan Aceh Lhokseumawe atau antara Gayo Takengon dan Gayo Lues.
Keberagaman bahasa dan budaya di Aceh ini misalnya terefleksikan dalam perbedaan nilai-nilai yang dianut.
Meski terdapat irisan dan keserupaan, himpunan nilai-nilai di Aceh disebut Hadih Maja atau Narit Maja.
Sementara di Gayo disebut Peri Mestike.
Reproduksi nilai di Aceh dilakukan melalui syair Doda Idi, sementara di Gayo melalui syair Janyun (Suganda, 2021: 37-38).
Sebagian dari kekayaan bahasa etnik kita itu telah punah dan sebagian lagi terancam punah.
Di antara yang sudah punah adalah Hoti, Hukumia, Hulung, Serua, Te’un, Palumata, Loun, Moksela, Naka’ela, Nila, Ternateno, Ibu, Saponi, dan Mapia.
Sementara jumlah bahasa yang terancam punah sebanyak 163 bahasa etnik.
Sebuah bahasa dianggap bisa bertahan dari ancaman kepunahan jika memiliki paling tidak sekitar 1.000 penutur dan bahasa-bahasa yang tersebut di atas memiliki jumlah penutur yang kurang dari 500 orang (Patji, 2021: 318-320).
Apa makna kepunahan sebuah bahasa dari aspek kebudayaan?
Seperti ditulis dalam buku Membangun Nasionalisme Melalui Bahasa dan Budaya (Penerbit Buku Kompas) yang akan diluncurkan 28 Oktober nanti, ”dengan bahasa, maka sistem dan nilai budaya dari suatu kelompok masyarakat diwariskan, ditransmisikan, dari generasi ke generasi. Bahasa etnik (lokal, daerah) berperan penting pula sebagai identitas suatu suku bangsa” (hlm 10).
Intinya, hilang atau punahnya bahasa berarti hilangnya sebuah kebudayaan.
Jika kita memandang kebudayaan sebagai perspektif dalam melihat dunia, punahnya satu bahasa etnik tertentu berarti hilangnya satu perspektif dalam memandang dunia, alam raya, dan seisinya.
Hilangnya bahasa juga berarti hilangnya pengetahuan prasejarah dan pengetahuan ekologi tradisional.
Karena pentingnya bahasa sebagai penjaga kultur dan identitas bangsa inilah, beberapa peraturan telah dibentuk untuk melindunginya, antara lain UUD 1945 Pasal 32 Ayat 2 (hasil amendemen keempat), ”Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”.
Pemerintah lantas mengeluarkan UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Disusul dengan Peraturan Pemerintah No 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan, Pembinaan, Perlindungan Bahasa dan Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia.
Regulasi lain adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Bahasa Daerah.
Beberapa negara menghadapi masalah dengan multilingualisme dan multikulturalisme ini, termasuk yang ada di Eropa.
Karena bahasa etnik merupakan identitas diri dan kelompok serta bisa menjadi simbol kebangsaan, beberapa negara menjadi terpecah karena isu bahasa dan kultur ini.
Kanada, misalnya, pernah menghadapi konflik dan krisis kebahasaan yang cukup serius pada tahun 1960-an, antara bahasa Inggris dan Perancis di Quebec.
Belgia juga pernah menghadapi perpecahan karena bahasa, antara Flanders dan Wallonia. Demikian pula halnya Kurdi yang ada di Turki.
Perdebatan penting terkait dengan nasionalisme, bahasa, dan kebudayaan itu di antaranya terletak pada konsep ”keseragaman dan keberagaman”.
Jika keseragaman dalam bahasa nasional tertentu terlalu dominan, ekses negatifnya bisa berupa tertekannya khazanah bahasa dan budaya lokal.
Bisa saja bahasa-bahasa lokal atau etnik itu menjadi punah.
Namun, jika keragaman terlalu kuat dan tak ada yang mengikat secara bersama jalinan kebangsaan ini, tentunya itu bisa memicu disintegrasi atau perpecahan bangsa (Suganda, 2021: 67).
Tantangan berikutnya tentu saja adalah globalisasi dengan hadirnya bahasa-bahasa internasional yang lebih bernilai secara ekonomis dan lebih memberikan akses kepada pengetahuan, seperti bahasa Inggris.
Ini yang semakin menggerus bahasa etnik dan mempercepat kepunahannya, antara lain karena sudah tidak dipakai lagi oleh penutur dan anak-anaknya yang lebih tertarik pada bahasa nasional dan internasional.
Kegelisahan tentang posisi bahasa daerah di tengah arus global ini diungkapkan dengan menyedihkan oleh Yohanes Manhitu yang dikutip dalam buku di atas, ”pamor bahasa daerah sudah kalah (jauh) dibandingkan dengan bahasa nasional kita, apalagi dengan bahasa Inggris --yang dijuluki bahasa Internasional-- … mengapa masih ada sejumlah orang yang terus mengurusi bahasa daerah walaupun usaha mereka itu boleh dikatakan ibarat mengutak-atik gerbong tua yang diharapkan berjalan di atas rel baru?
Orang boleh saja mencibir bahasa daerah yang dianggap tidak mendatangkan aliran tunai ke kantong atau rekeningnya.
Namun, dari sudut pandang budaya, orang yang (masih) mencintai budaya bangsanya akan menangis dalam hati memikirkan nasib bahasa-bahasa daerah yang pada umumnya tak kunjung mengalami perbaikan dan kemajuan, malah makin tersudut dalam percaturan kebahasaan di dusun global ini” (hlm 14).
Berbagai tantangan globalisasi terkait bahasa dan budaya ini adalah bahasan buku kedua yang juga diluncurkan dalam Bulan Bahasa ini, yaitu Globalisasi dan Transformasi Sosial Budaya: Pengalaman Indonesia.
Dua buku di atas ditulis oleh para profesor di LIPI atau BRIN yang sebagian di antaranya telah wafat di tengah pandemi Covid-19 ini, seperti Muhammad Hisyam, John Haba, dan Abdul Rachman Patji. (Ahmad Najib Burhani, Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional - BRIN)-dhn
Artikel telah tayang di Kompas.id dengan judul “Bulan Bahasa”. Klik untuk baca: Bulan Bahasa - Kompas.id.