Oleh SRIWIYANTI
Baca Juga:
Prediksi Elon Musk dan Zuckerberg Hp Segera Punah, Ini Penggantinya
BEKERJA tujuh kali dua puluh empat jam, tidak memiliki waktu luang, hingga rapat di akhir pekan.
Masyarakat melabeli individu dengan kriteria tersebut sebagai orang yang sukses.
Baca Juga:
Antisipasi Bullying di Sekolah, Bupati Cianjur Larang Siswa SD dan SMP Bawa Hp
Inilah hustle culture yang dikenal sejak tahun 1970-an, di mana seseorang merasa berharga dengan padatnya aktivitas.
Dunia dengan ritme dan intensitas perubahan yang sangat tinggi hanyalah milik mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk sebuah kesuksesan.
Fenomena ini juga memasuki pusaran dunia hiper-realitas dan merenggut kemerdekaan sebagai manusia.
Terlihat dari kondisi di mana seseorang tidak bisa berhenti untuk menunjukkan dirinya, sebagai entitas yang hadir dan mengikuti ritme kehidupan dunia maya yang tidak memiliki jeda, menggerogoti kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis tanpa disadari.
Kondisi semacam ini erat kaitannya dengan digital well-being (DWB) atau kesejahteraan digital.
Definisi tentang DWB cukup bervariasi, mulai dari program yang diadakan Google melalui fitur dan aplikasinya hingga kampanye yang diadakan berbagai pihak untuk memperbaiki hubungan manusia dengan media digital.
Secara umum, ada dua definisi operasional tentang DWB.
Pertama, dari UNESCO, yaitu kemampuan untuk meningkatkan dan memperbaiki kesejahteraan sebagai manusia secara utuh, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, melalui penggunaan media digital.
Kedua, Joint Information Systems Committee mendefinisikan DWB sebagai penggunaan secara sehat dengan mempertimbangkan tiga kesehatan dasar, yaitu fisik, mental, dan emosional.
Artinya, manusia yang justru mengalami penurunan kualitas hidup karena adanya distraksi digital adalah ada antitesis dari DWB.
Bagaimana kehidupannya diatur oleh jadwal yang sangat padat untuk selalu terlibat dalam kehidupan hiper-realitas dari waktu ke waktu.
Ada tiga penyakit utama yang bisa dilihat dari seseorang yang memiliki hubungan yang buruk dengan media digital.
Pertama, perilaku oversharing, terlihat dari perputaran informasi yang terjadi dengan sangat intens dan berlebihan meski tidak sesuai konteks.
Mulai dari membagikan apa yang dikonsumsi melalui status dan story, bercerita tentang apa yang dilakukan dari waktu ke waktu, hingga ragam perasaan dan emosi yang bersifat privasi.
Meski perilaku sharing atau berbagi melalui media digital tidak melulu berkonotasi negatif, hal itu sering kali diartikan sebagai suatu tantangan, alih-alih sebagai sebuah peluang yang bisa difungsikan dengan baik.
Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa perilaku oversharing sama seperti penggunaan barang tertentu yang bisa memicu kecanduan atau efek adiktif sehingga butuh terapi tertentu untuk mengembalikan penggunanya ke kondisi semula.
Kedua, social comparison atau menjadikan kehidupan orang lain sebagai indikator untuk evaluasi pencapaian pribadi.
Fenomena ini sebenarnya sudah dikemukakan oleh Festinger sejak tahun 1954.
Ironisnya, ketika dunia dilipat dalam sebuah kehidupan hiper-realitas, social comparison menjadi isu yang semakin santer diperbincangkan.
Sebab, batas-batas sosial menjadi kabur hingga tak bersekat.
Setiap orang memiliki fungsi ganda sebagai produsen dan konsumen berita yang tumpang tindih dan rentan terjadi turbulensi.
Akhirnya, tak sedikit orang yang menjadi tidak percaya diri dan memiliki harga diri (self-esteem) yang rendah karena menganggap dirinya tidak cukup qualified untuk tampil sebagai bagian dari kehidupan sosial di dunia maya.
Ketiga, fear of missing out (FOMO), ini menjadi hilir dari sikap oversharing dan social comparison, kondisi di mana seseorang merasa cemas ketika tidak mampu mengikuti tren, stres karena tidak melakukan hal-hal yang dilakukan orang lain, takut ketika tidak tahu tentang suatu informasi yang sedang ramai diperbincangkan.
Akhirnya, ia berusaha untuk terus-menerus menyerap berita, melakukan berbagai hal yang sedang menjadi tren, lalu membagikan "kebahagiaan" tersebut seperti yang dilakukan orang lain.
Pada saat itulah, kebebasan sebagai manusia terampas, kualitas hidup menurun, bahkan berdampak pada risiko kesehatan fisik, seperti kualitas tidur.
Ini seperti tecermin pada penelitian Li dkk (2020) berjudul Fear of Missing Out and Smartphone Addiction Mediates the Relationship Between Positive and Negative Affect and Sleep Quality Among Chinese University Students.
Tidak sedikit orang yang mengidap insomnia justru karena aktivitas yang padat di kehidupan hiper-realitas, di tengah kaburnya realita dan eksistensinya di dunia maya menjadi sesuatu yang digambarkan dalam unggahan-unggahan rutin dalam skala penting hingga sangat tidak penting.
Tuntutan untuk selalu hadir mendorong individu pada burn out atau kelelahan dalam aktivitas yang ia sendiri tidak sadari, berakhir sebagai kecemasan, insomnia, bahkan depresi.
Kondisi semacam ini membutuhkan intervensi, baik dari diri sendiri maupun dari orang lain, untuk mewujudkan hubungan yang lebih sehat dengan media digital.
Penelitian tentang digital wellbeing sudah banyak dikembangkan.
Beberapa kursus singkat secara daring juga bisa diambil untuk mendapat gambaran yang lebih lengkap, salah satunya di Futurelearn.com dengan tema "Digital Well-Being", diselenggarakan oleh University of York dengan fasilitator dari beragam bidang, seperti teknologi, psikologi, dan terapis.
Selain itu, perubahan besar ini juga bisa dimulai dengan membaca buku Cal New Port (2020) berjudul Digital Minimalism: Choosing a Focus Life in a Noisy World yang layak dijadikan referensi.
Dengan demikian, kita tahu bagaimana memilih dan memilah apa yang benar-benar kita butuhkan dalam digital media.
Analoginya seperti bersih-bersih rumah menuju hidup minimalis.
Apa yang sudah tidak dibutuhkan dan tidak digunakan bisa dibuang.
Dengan demikian, minim distraksi dan kualitas hidup bisa meningkat.
Gerakan digital minimalism ini banyak dilakukan oleh beberapa orang yang mulai menyadari pentingnya kesejahteraan digital dalam mewujudkan kesejahteraan psikologis.
Prosesnya terjadi dengan mereduksi perasaan takut dan cemas, kemudian meningkatkan perasaan bahagia.
Singkatnya, melalui antitesis dari FOMO, yaitu joy of missing out (JOMO).
Suatu kondisi ketika seseorang justru merasa bahagia saat tidak terikat dengan berbagai informasi yang berkembang di dunia hiper-realitas, tidak memiliki tuntutan untuk selalu hadir dan mengikuti tren, sehingga tidak merasakan tekanan dan keinginan untuk harus melakukan ini dan itu, seperti yang dilakukan orang lain.
Akhirnya, sebagai manusia yang memiliki previlege (privilese) untuk menentukan pilihan-pilihan dalam hidup, rasanya penting untuk terbebas dari tuntutan mendokumentasikan berbagai peristiwa.
Menikmati semilir angin di beranda rumah, tenggelam dalam alur cerita sebuah buku, mengobrol dengan teman lama, atau tertawa bersama di ruang keluarga. Sudah saatnya, manusia kembali merdeka. (Sriwiyanti, Mahasiswa Master of Educational Psychology Unisza Malaysia)-qnt
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Digital Wellbeing", Kemerdekaan dalam Hunia Hiper-Realitas. Klik untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/29/digital-wellbeing-kemerdekaan-dalam-dunia-hiper-realitas/.