Oleh JANNUS TH SIAHAAN
Baca Juga:
Pemohon Uji Materi UU Pemilu Desak Percepatan Pelantikan Presiden Terpilih
DALAM buku baru semi biografi Donald Trump, "I Alone Can Fix It," besutan Carol Leonnig dan Philip Rucker, dikatakan bahwa saking takutnya kehilangan kekuasaan dan karena begitu konsennya menyerang Obama sejak tahun 2011, Donald Trump bahkan pernah berpikir sangat konspiratif atas Obama.
Jelang pemilihan tahun 2020 lalu, ada gagasan yang berkeliaran di kepala Donald Trump bahwa Presiden Obama dan sekutunya akan segera mengatur kudeta untuk menggantikan Joe Biden sebagai calon presiden dari Partai Demokrat dengan gubernur New York, Andrew Cuomo.
Baca Juga:
Mahfud MD: Saya Lebih Baik dari Prabowo-Gibran, tetapi Rakyat Lebih Percaya Mereka
“He’d be tough. So tough. I’d beat him, but he’d be tough,” kata Trump kepada kedua penulis tersebut.
Tapi layaknya kicauan Donald Trump lainnya, hal itu nyatanya tak terjadi.
Keparnoan yang menggelantung di ubun-ubun Donald Trump tersebut tak lebih dari isapan jempol, yang mengingatkan saya kepada ketakutan berlebihan seorang Richard Nixon terhadap keluarga Kennedy.
Ayah Andrew Cuomo, Mario Cuomo, adalah filsuf politik dari Queens dengan wajah, yang menurut saya, mirip wajah mesias abad pertengahan.
Karena itu, Mario Cuomo berhasil membakar hati kaum liberal yang membuatnya secara tak terduga terpilih sebagai Gubernur New York pada tahun 1982, di awal era Ronald Reagan.
Menurut beberapa komentator di era itu yang saya baca di beberapa buku politik Amerika, dalam kondisi terbaiknya, Mario Cuomo bahkan dianggap memiliki kemampuan yang mendekati Abraham Lincoln.
Luar biasa memang.
Dikatakan, ia mampu menginspirasi banyak orang dan mampu membangun harapan para pendengarnya.
Yang tak kalah penting, ia juga mampu membongkar logika-logika di balik apapun masalah yang ada.
Namanya juga seorang filsuf toh.
Pendeknya, para pendukungnya memujanya dan lawan-lawannya khawatir luar biasa terhadapnya.
Sehingga wacana pun akhirnya beredar bahwa laga presidensial selanjutnya, tepatnya di tahun 1988, adalah laga Cuomo vs George HW Bush, bapak Bush yunior, yang menjadi wakil Ronald Reagan kala itu.
Namun ternyata Mario Cuomo tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai calon presiden, meskipun Partai Demokrat kala itu nyaris tidak memiliki alternatif yang lebih karismatik ketimbang Michael Dukakis, yang secara popularitas masih di bawah Mario.
Bahkan akhirnya sampai laga presidensial tahun 1992, Mario tak juga menceburkan dirinya ke dalam laga politik terbesar tersebut.
Entah kebetulan atau mengikuti jalan ayahnya, begitu pulalah yang dilalui oleh Andrew Cuomo, walaupun rating-nya terbilang cukup tinggi sebagai gubernur.
Banyak petinggi Partai Demokrat menginginkannya untuk mencalonkan diri pada tahun 2016 atau 2020, tapi Andrew ternyata tidak pernah melangkah terlalu jauh, persis seperti bapaknya.
Andrew Cuomo nampaknya lebih memilih dan boleh jadi cukup terobsesi untuk bersiap-siap menorehkan prestasi tiga periode sebagai Gubernur New York, ketimbang masuk laga presidensial.
Dengan kata lain, Andrew lebih terobsesi membangun dinasti politik di sana.
Cukup bisa dipahami memang, ada banyak dinasti politik di masa lalu di New York.
Kalau kita kembali ke awal masa Amerika Serikat era Republik, atau bahkan sebelumnya, ada setumpuk dinasti politik yang bergilir kekuasaan di New York.
Ada The Livingstons dinasty, ada the Clinton, the Hamilton, Van Burens, Wagners, the Roosevelts, dan the Kennedy.
Tapi di tangan Andrew Cuomo, yang bersiap-siap maju untuk ketiga kalinya, bayi dinasti politik itu tercederai oleh kasus pelecehan seksual, lalu ia memilih mundur sebagai Gubernur New York beberapa waktu lalu.
Dan Andrew Cuomo pun tamat.
Entah apa kata Anies Baswedan ketika Andrew Cuomo tersengat kasus pelecehan seksual dan mundur teratur beberapa waktu lalu?
Sepengetahuan saya, semua langkah yang diambil Anies Baswedan di awal masa pandemik, adalah langkah yang diambil oleh Andrew Cuomo di New York, yang kerab bertentangan atau mendahului kebijakan Donald Trump, layaknya Anies yang mendahului wacana-wacana pandemik Jokowi.
Di saat awal pandemik itu, saya melihat betapa miripnya Anies Baswedan dengan Andrew Cuomo, baik dalam kebijakan maupun dalam konstelasi persaingan politik New York dan Gedung Putih.
Tapi Anies tidak berasal dari keluarga yang pernah menjadi Gubernur Jakarta sebelumnya.
Anies tidak punya pendahulu familial seperti Mario Cuomo di New York.
Brand Anies berawal dari upaya solo karir, mirip start up politik, yang kemudian berhasil menerbitkan saham seri A atau B, lalu diboyong investor, yang membuatnya berhasil menjadi menteri, lalu menduduki bangku Gubernur DKI.
Kendati demikian, Brand Anies terlihat sangat independen.
Anies bahkan lebih mirip John McCain (yang juga gagal jadi presiden karena kalah oleh Obama-Biden), lebih kental nuansa "maverick"-nya ketimbang nuansa partai pendukungnya.
Tapi dikaitkan dengan Duo Cuomo, Anies justru punya kemiripan dengan Mario Cuomo, ayah Andrew Cuomo.
Anies mampu berkilah dengan logika-logika, lalu diibadahi oleh para pendukungnya, layaknya Mario Cuomo menyetrum titik cinta di dalam hati para pendukung partai demokrat di tahun 1980-an.
Bahkan kata seorang kawan tentang Anies beberapa waktu lalu, "lidah Anies itu lo!!"
Ya, dalam hal itu, Anies Baswedan, doktor jebolan universitas paman Sam yang pernah menikmati status rektor termuda sejagad nusantara, memang mirip Mario Cuomo, sang filsuf politik dari Queens.
Beruntungnya, sampai hari ini, Anies nyaris tak punya cerita yang mirip dengan kasus pelecehan seksual Andrew Cuomo.
Tapi sejak 2017, lobang knalpot dari debut politik Anies di Ibu Kota mengasapi Istana Negara yang berjarak beberapa ratus meter saja dari kantor Gubernur DKI Jakarta.
Pertama, peluang Anies untuk di-Andrew Cuomo-kan sangat besar, meski dengan kasus yang berbeda.
Kedua, lebih dari itu, peluang Anies di-Mario Cuomo-kan juga besar, selama mulut dan kepalanya bisa berkoordinasi dengan baik, lalu menghasilkan sengatan-sengatan bisa politik yang memabukkan para calon pemilih, tapi tetap gagal maju di laga pemilihan presidensial karena satu dan lain hal.
Dan ketiga, peluang Anies lepas dari dua Cuomo juga besar, mengingat semakin vulgarnya ambisi Anies menuju Istana dan satu dua partai politik sudah mulai memberikan lampu hijau.
Namun jika Anies semakin mengarah ke opsi ketiga, sangat besar harapan kita bahwa semoga berjalan dengan baik tanpa resep Islam Politik versi Habib Rizieq.
Karena politik identitas yang mencuat di Pilkada Jakarta tahun 2017 lalu telah menyisakan ketakutan emosional yang luar biasa secara nasional.
Pembelahan politik yang tajam bukanlah resep politik yang baik dan sehat untuk Indonesia ke depan.
Karena itu, rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo dipandang sangat krusial untuk mengobatinya.
Untuk itu, Anies perlu memperlihatkan sikap “kenegarawanan kelas calon presiden” atas aksi reuni 212.
Bukan saja karena protokol kesehatan di dalam situasi pandemik, tapi juga karena masa depan kesehatan politik nasional sedang dipertaruhkan jika Anies menoleransi bibit-bibit politik identitas bersemi kembali.
Jika Anies kekurangan energi intelektual untuk keluar dari ranjau-ranjau di dalam dinamika politik menuju Pilpres 2024 atau kesulitan untuk lepas dari jebakan politik identitas yang pernah melejitkannya secara kurang elegan di tahun 2017, maka peluang Anies untuk menjadi sosok calon presiden yang bisa diterima banyak partai di satu sisi dan bisa diterima semua kalangan di sisi lain, akan semakin menipis.
Dengan kata lain, Anies dalam perjalanan menuju 2024 akan sangat mudah ditinggalkan oleh sosok Ganjar Pranowo yang dari sisi latar belakang dan akseptabilitas politik jauh lebih fleksibel.
Karena Ganjar lebih pluralis dan lebih mudah diterima oleh hampir semua kalangan di Indonesia. (Jannus TH Siahaan, Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran, Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik)-qnt
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Dilema Politik Anies Baswedan, Antara Duo Cuomo dan Reuni 212”. Klik untuk baca: Dilema Politik Anies Baswedan, antara Duo Cuomo dan Reuni 212 - Kompas.com.