WAHANANEWS.CO, Jakarta - Artikel ini merupakan kelanjutan dari tiga tulisan saya sebelumnya yang membahas RDF Plant Rorotan dan ITF Sunter. Kali ini, saya kembali menyoroti perkembangan serta berbagai kejanggalan dalam proyek RDF Plant Rorotan, sekaligus memberikan masukan kepada Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo, Wakil Gubernur Rano Karno, serta pihak-pihak terkait, termasuk masyarakat Jakarta.
Khusus bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, rangkaian tulisan saya mengenai RDF Rorotan dan PLTSa ITF Sunter diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan penting untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) RDF Rorotan.
Baca Juga:
Pemerintah Susun Langkah Konkret Atasi Sampah, Prabowo Pasang Target 2029
DPRD DKI Jakarta sebaiknya segera membentuk Pansus RDF guna melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap aspek perencanaan, kontrak, pelaksanaan, keuangan, dan dampak lingkungan proyek RDF Plant Rorotan. Langkah ini mendesak dilakukan karena hingga kini proyek yang menelan dana lebih dari Rp1,2 triliun tersebut belum juga beroperasi secara resmi. Proses yang seharusnya rampung pada akhir 2024 justru masih berstatus commissioning atau uji coba dan verifikasi. Tidak berlebihan jika publik mempertanyakan proyek ini, bahkan mungkin menilainya sebagai “proyek aneh.”
Anggapan bahwa proyek RDF Rorotan merupakan “proyek aneh” mungkin cukup beralasan. Hal itu berangkat dari fakta bahwa proyek ini menggunakan pagu anggaran tahun 2024 yang telah dibayar penuh, padahal pekerjaannya belum selesai. Artinya, seluruh nilai kontrak sebesar Rp1.284.554.975.461,00 telah dicairkan meskipun proyek belum rampung dan masih berada pada tahap uji coba. Bukankah kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar?
Lebih jauh lagi, pembangunan RDF Plant Rorotan dilakukan dengan mengorbankan proyek strategis nasional (PSN) PLTSa atau ITF Sunter Jakarta. Pembatalan atau penundaan ITF Sunter dan pengalihan prioritas pembangunan ke RDF Rorotan dilakukan pada masa kepemimpinan mantan Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, dengan dukungan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto.
Baca Juga:
Proyek RDF Bolmong Masuk Daftar Investasi Potensial Forum Bisnis Osaka 2025
Saat peletakan batu pertama (groundbreaking) pada 13 Mei 2024 di Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Heru Budi Hartono menyatakan bahwa fasilitas RDF ini dibangun di atas lahan seluas 7,87 hektare milik Pemprov DKI Jakarta. Proyek tersebut dirancang mampu mengolah 2.500 ton sampah per hari dan menghasilkan 875 ton bahan bakar alternatif (Refuse-Derived Fuel/RDF) per hari.
Pekerjaan dilaksanakan oleh DLH DKI Jakarta melalui KSO WJK berdasarkan Kontrak Nomor 2101/PPK-MAF/PN/01.02 tanggal 26 Maret 2024 dengan nilai Rp1,28 triliun menggunakan skema design and build. Penetapan proyek mengacu pada Keputusan Gubernur Nomor 834 Tahun 2023 tentang Penetapan Pekerjaan Rancang Bangun Fasilitas Pengolahan Sampah Energi RDF di Rorotan, dengan target penyelesaian 31 Desember 2024.
Namun hingga kini, fasilitas RDF Plant Rorotan masih dalam tahap uji coba. Masyarakat sekitar bahkan mengeluhkan bau tidak sedap dan gangguan lingkungan yang muncul hingga uji coba lanjutan pada September 2025. Uji coba kembali dilanjutkan pada Oktober 2025, menandakan fasilitas ini belum siap beroperasi penuh baik secara teknis maupun operasional.
Keterlambatan pelaksanaan proyek ini telah mengakibatkan serangkaian perubahan kontrak atau addendum yang kini mencapai lima kali, dengan batas waktu penyelesaian terakhir ditetapkan pada 31 Desember 2025. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan apakah proyek ini sebenarnya tergolong sebagai proyek tahun jamak (multi years project), mengingat pelaksanaannya telah melampaui batas tahun anggaran 2024. Keterlambatan ini juga berpotensi disertai penambahan biaya dari APBD 2025, sehingga pertanyaan mengenai status RDF Rorotan sebagai proyek multi years atau bukan menjadi semakin relevan untuk dikaji secara mendalam.
Keanehan lain dari proyek RDF Plant Rorotan mungkin semakin masuk akal ketika diketahui bahwa proyek yang telah dibayar lunas justru kembali mengajukan tambahan anggaran melalui Belanja Tak Terduga (BTT) Tahun Anggaran 2025. Tambahan dana tersebut diajukan untuk pengadaan sistem Wet Electrostatic Precipitator (Wet ESP) beserta sistem pendukungnya, seperti struktur, mekanikal, elektrikal, instrumentasi, dan Water Mist System. Sangat janggal apabila proyek yang sudah dibayar penuh pada tahun sebelumnya, namun belum selesai, masih mengajukan tambahan anggaran di tahun berikutnya.
Selain itu, terdapat dugaan bahwa pelaksanaan pekerjaan selama masa perpanjangan kontrak belum didukung oleh jaminan pelaksanaan senilai Rp64.227.748.773,00. Ketiadaan jaminan ini menimbulkan risiko besar karena pekerjaan menjadi tidak terjamin dari segi waktu, biaya, dan mutu sebagaimana diatur dalam kontrak. Pelaksana proyek juga berpotensi terkena denda akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan. Oleh karena itu, keabsahan dan keberlanjutan jaminan senilai Rp64 miliar tersebut harus segera dipastikan.
Dalam konteks tersebut, publik wajar mempertanyakan apakah RDF Plant Rorotan benar-benar mampu memenuhi klaim teknisnya, yakni mampu mengolah 2.500 ton sampah per hari dan menghasilkan 874 ton bahan bakar RDF setiap hari. Masyarakat kini menantikan pembuktiannya—apakah fasilitas ini benar-benar dapat beroperasi secara resmi pada November 2025 sebagaimana dijanjikan oleh Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto.
Jika mencermati keseluruhan permasalahan tersebut, terlihat adanya potensi pelanggaran terhadap sejumlah peraturan, seperti Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang telah diubah dengan Perpres Nomor 12 Tahun 2021, serta Surat Edaran Sekretaris Daerah DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2024 tentang Pembayaran Pekerjaan yang Tidak Terselesaikan pada Akhir Tahun Anggaran 2024.
Selain itu, pembatalan atau penghentian proyek strategis nasional PLTSa/ITF Sunter dan penggantian dengan proyek RDF Rorotan juga berpotensi tidak sejalan dengan ketentuan hukum serta kebijakan nasional, termasuk kemungkinan adanya pelanggaran terhadap ketentuan aturan dalam pencegahan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Melihat kompleksitas persoalan ini, pembentukan Pansus RDF di DPRD DKI Jakarta menjadi kebutuhan yang mendesak. Pansus tersebut diharapkan dapat mengungkap dan menelusuri seluruh aspek perencanaan, pelaksanaan, serta keuangan proyek RDF Plant Rorotan, termasuk potensi penyimpangan yang dapat merugikan keuangan daerah. Langkah ini penting untuk menjamin transparansi, akuntabilitas, dan memastikan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan APBD yang mencapai lebih dari Rp1,2 triliun.
Pembentukan Pansus RDF Plant Rorotan juga semakin relevan bila dikaitkan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menetapkan proyek PLTSa, seperti ITF Sunter Jakarta, sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN)—bukan proyek seperti RDF Rorotan. Apabila DPRD DKI Jakarta tidak menanggapi atau bahkan mengabaikan usulan pembentukan Pansus RDF tersebut, publik tentu akan bertanya-tanya. Sikap diam DPRD bisa saja dianggap sebagai keanehan baru dalam pengawasan pelaksanaan proyek besar di ibu kota.
[Redaktur: Alpredo Gultom]