WAHANANEWS.CO, Jakarta – Fenomena tindak pidana korupsi dalam beberapa tahun terakhir memunculkan ironi besar dalam pemberantasan kejahatan luar biasa di Indonesia.
Jika dahulu publik sudah terperangah ketika seorang pejabat tertangkap tangan menggerogoti satu miliar rupiah, kini angka korupsi berkembang menjadi sesuatu yang nyaris tak terbayangkan.
Baca Juga:
Kejati Bengkulu Geledah Rumah 9 Koruptor Batubara Rp500 Miliar: Barang dan Sertifikat Berharga Disita.
Ratusan miliar hilang seketika, triliunan raib tanpa bekas, dan proses penggerogotan uang negara ini dilakukan dengan pola yang kian canggih, terstruktur, serta melibatkan banyak pihak.
Ironisnya, uang dalam jumlah fantastis itu tidak selalu dinikmati sendiri oleh pelaku, tetapi dibagikan kepada keluarga, kelompok politik, perusahaan terafiliasi, hingga dialirkan untuk berbagai kegiatan sosial dan keagamaan.
Di sinilah problem moral mulai muncul yaitu bagaimana memaknai tindakan seorang koruptor yang menyumbangkan sebagian hasil korupsinya untuk membangun tempat ibadah, membantu anak yatim, atau membiayai kegiatan social kemasyarakatan?
Baca Juga:
KPK Dukung Penyitaan Aset Koruptor, tapi Tak Sejalan dengan Prabowo soal Keluarga
Apakah tindakan tersebut dapat dipandang sebagai “sifat baik” terdakwa dan layak menjadi alasan meringankan hukuman sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman?
Pertanyaan ini bukan sekadar teknis yuridis, melainkan problem etis dan filosofis. Korupsi sebagai extra ordinary crime menempatkan hakim pada posisi moral yang tidak ringan.
Hakim tidak hanya dituntut profesional, memahami elemen pasal, dan menemukan kebenaran hukum, tetapi juga mesti arif dan bijaksana dalam menilai sifat baik dan sifat jahat terdakwa, serta membedakan kebaikan sejati dari kebaikan palsu yang sengaja ditampilkan untuk mengurangi pidana.